Duniafintech.com – Kabar Grab dan Gojek merger atau melakukan penggabungan kembali santer terdengar saat pandemi melanda. Dua perusahaan raksasa ride-hailing terbesar di ASEAN, dikabarkan kembali melanjutkan wacana merger setelah mendapat restu dari pemegang saham utama Grab, yakni Softbank.
Seperti di lansir dari Financial Times waktu lalu,pembahasan mengenai Grab dan Gojek merger tersebut di pilih akibat kerugian besar yang melanda perusahaan transportasi daring di tengah pandemi COVID-19. Kedua perusahaan tersebut mengalami penuruan pendapatan yang drastis akibat adanya pembatasan sosial di berbagai negara.
Menurut seorang pialang pasar sekunder, saham Grab kini telah diperdagangkan dengan diskon 25%. Serupa dengan Grab, saham Gojek juga dijual dengan diskon besar, terutama dari pemegang saham lama yang ingin keluar dari perusahaan. Saat ini valuasi Grab ditaksir menyentuh US$14 miliar dan Gojek US$10 miliar.
Pukulan besar yang disebabkan oleh pandemi secara global telah menekan bisnis ride-hailing untuk menyetujui kesepakatan merger.
Salah satu konsultan bisnis dari RedSeer, Rashan Raj mengatakan sebelum COVID-19 melanda, kedua startup decacorn ini telah bergerak menuju monetisasi yang lebih baik. Mulai menaikkan komisi yang ditarik dari mitra pengemudi dan mengurangi subsidi pelanggan.
“COVID-19 mengganggu tren ini secara material. Kebangkitan ride-hailing bisa memakan waktu lama,” katanya.
Sebelumnya, pembahasan mengenai Grab dan Gojek merger sempat terjadi enam bulan lalu. Namun mendapat tentangan dari pemilik Softbank yang merupakan investor utama Grab, Masayoshi Son. Ia khawatir pada waktu itu bisnis ride-hailing akan menjadi industri monopoli jika terjadi merger di mana mereka yang paling banyak uang akan menguasai pasar, ujar orang yang dekat dengan miliuner Jepang tersebut.
Namun Gojek, yang investornya termasuk grup internet China Tencent dan Meituan-Dianping dan baru-baru ini Facebook dan PayPal Silicon Valley, telah terbukti tangguh, terutama di Indonesia.
Kesepakatan apa pun yang terjadi, juga dicermati oleh regulator dalam hal pengaruhnya terhadap pekerjaan mengingat latar belakang ekonomi yang buruk, bahkan jika beberapa investor di kedua perusahaan percaya bahwa pejabat antitrust kurang fokus pada pertimbangan kompetitif daripada di masa lalu.
(DuniaFintech/Drean M. Ikhsan)