JAKARTA, duniafintech.com – Rincian mengenai panduan atau tata cara pengungkapan harta dalam Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau tax amnesty tahun depan, yang berlaku mulai 1 Januari 2022 hingga 31 Juni 2022, resmi dirilis oleh pemerintah.
Adapun panduan ini diatur melalui PMK Nomor 196/PMK.03 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela.
“Beleid tersebut merupakan aturan pelaksanaan untuk Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PPS akan berlaku tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022,” ucap Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor melalui keterangan resmi, Senin (27/12), seperti dikutip dari Kompas.com.
Untuk diketahui, pengungkapan harta ini akan dilakukan lewat sistem digital alias daring (online) dalam rangka memperkecil interaksi antara pelapor pajak dengan petugas pajak. Saat ini, pemerintah pun masih mempersiapkan dan sedang melakukan serangkaian tes, termasuk new user acceptance test. Pada akhir tahun ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berencana untuk men-deploy aplikasi dimaksud.
Adapun dalam PPS itu, terdapat 2 kebijakan dengan tarif PPh final berbeda sesuai keadaan harta. Kebijakan I adalah untuk peserta wajib pajak badan maupun orang pribadi yang memiliki harta perolehan tahun 2015, tetapi belum diungkapkan dalam program tax amnesty tahun 2016.
Di sisi lain, kebijakan II bagi peserta orang pribadi (OP) yang memiliki harta perolehan tahun 2016—2020, tetapi belum diungkapkan dalam SPT Tahunan. Berikut ini panduan lengkap tentang pengungkapan harta program PPS 2022:
- Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps.
- SPPH dilengkapi dengan, SPPH induk, bukti pembayaran PPh Final, daftar rincian harta bersih, daftar utang, pernyataan repatriasi dan/atau investasi.
- Untuk peserta kebijakan II, ada tambahan kelengkapan, yakni pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum); dan Surat permohonan pencabutan Banding, Gugatan, Peninjauan Kembali.
- Peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH apabila ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung, atau perubahan tarif.
- Peserta PPS dapat mencabut keikutsertaan dalam PPS dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai 0. Peserta PPS yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut PPS dan tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya.
- Pembayaran dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk kebijakan I, 427, untuk kebijakan II, 428. Pembayaran tidak dapat dilakukan dengan Pemindahbukuan (Pbk).
- PPh Final yang harus dibayarkan sebesar tarif dikali nilai harta bersih (harta dikurang utang).
- Untuk kebijakan I, pedoman yang digunakan untuk menghitung besarnya nilai harta per 31 Desember 2015, yaitu:
- Nilai nominal, untuk harta kas atau setara kas.
- Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) untuk kendaraan bermotor.
- Nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak.
- Nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham dan waran yang diperjualbelikan di PT BEI.
- Nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia untuk SBN dan efek bersifat utang/sukuk yang diterbitkan perusahaan. f. Jika tidak ada pedoman, menggunakan hasil penilaian Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP).
- Untuk kebijakan II, pedoman yang digunakan untuk menghitung besarnya nilai harta per 31 Desember 2020, yaitu:
- Nilai nominal, untuk kas atau setara kas.
- Harga perolehan, untuk selain kas atau setara kas.
- Jika tidak diketahui, menggunakan nilai wajar per 31 Desember 2020 dari harta sejenis atau setara berdasarkan penilaian WP.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra