duniafintech.com – Istilah crowdfunding atau urun dana untuk suatu tujuan bisa diterapkan di berbagai bidang. Tak terkecuali di bidang olahraga. Tak hanya atlet olahraga, sebuah klub olahraga juga bisa dimiliki oleh banyak orang dari hasil crowdfunding, seperti membeli klub sepakbola. Inilah perkembangan crowdfunding di Klub Sepakbola.
Potret Perkembangan CrowdFunding di Klub Sepakbola
Pengelolaan klub berbasis suporter bukan hal baru lagi di dunia sepakbola. Pada tahun 1990-an lalu Manchester United menjadi Public Limited Companies (PLC), yaitu bentuk perusahaan yang terdaftar resmi di bursa saham (Bursa saham London). Dengan begitu, siapapun termasuk suporter fanatik bisa membeli saham klub tersebut. Harga saham MU bisa melonjak tinggi ketika prestasi klub gemilang dan akan merosot saat terjadi kepindahan pemain bintangnya dan menurunnya prestasi klub.
Arsenal pada agustus 2010 menjual saham kepada suporter fanatiknya yang dikenal dengan nama “The Gooners” untuk melawan upaya akuisisi pebisnis Amerika dan Rusia yang ketika itu menguasai saham mayoritas di klub. Arsenal melepas selembar saham kepada suporternya seharga sebesar 95 pound sterling (Rp 1,4 juta), seperseratus dari nilai sebenarnya, 9,500 poundsterling. Pembeli saham akan mengikuti pemilihan suara untuk memperebutkan sebuah kursi agar bisa hadir dalam pertemuan umum. Setiap suporter yang membeli 100 lembar saham akan berhak terlibat dalam pembuatan kebijakan klub.
Sementara di Indonesia, Brigata Curva Sud (BCS) sudah menjadi sponsor PSS Sleman. BCS telah memiliki dua unit usaha, yaitu CS Shop, menjual merchandise PSS, dan CS Mart yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Dari hasil itu, BCS bahkan mampu menjadi sponsor tim PSS Sleman dan memiliki andil dalam penentuan kebijakan klub. Kelompok suporter fanatik ini juga yang menginisiasi Elja TV.
BCS berprinsip “No Leader, Just Together”. Tidak ada pemimpin atau orang yang ditonjolkan dalam komunitas ini, semua kedudukannya sama sebagai suporter yang memiliki kesadaran penuh bersama-sama mendukung PSS Sleman di tribun. Prinsip lain yang dipegang oleh BCS adalah “No Ticket, No Game”, “No Politica”, dan “Mandiri Menghidupi”.
Konsep crowdfunding ini bIsa menjadi solusi bagi klub sepakbola yang sedang dilanda dualisme, misalnya Arema. Bermula dari dualisme kompetisi 2011 lalu antara Indonesia Super League (ISL) dan Indonesia Premiere League (IPL), beberapa klub di Indonesia turut mengalami dualisme. Sebut saja Persija Jakarta, Persebaya Surabaya dan termasuk Arema Malang.
Untuk Arema, konflik dualisme ini tidak kunjung usai. Awal musim 2017 ini ada Arema FC yang berkompetisi di Liga 1 dan Arema Indonesia di Liga 3. Keduanya sama-sama diakui PSSI dan bermain di kompetisi resmi. Baik PT Aremania Arema Bersatu Berprestasi Indonesia selaku pengelola Arema FC atau PT Arema Indonesia pengelola Arema Indonesia saling mengklaim yang paling benar dan memiliki legalitas yang paling sah.
Masalah bertambah runyam tatkala finansial juga tidak mendukung. Hal ini pula yang melanda dua klub di atas. Imbasnya adalah prestasi klub yang adem ayem. Aremania– sebutan pendukung Arema–juga terpecah, ada yang mendukung Arema FC dan tidak sedikit yang mendukung Arema Indonesia. Tidak sedikit pula yang memutuskan gantung syal alias berhenti mendukung sementara Arema sampai berakhirnya dualisme yang entah sampai kapan.
Sampai berakhirnya Liga 1 dan Liga 3 belum ada tanda-tanda kedua Arema ini bersatu. Padahal banyak Aremania maupun pecinta sepakbola Indonesia berharap dualisme di tubuh Arema segera berakhir dan musim depan hanya ada satu Arema yang berkompetisi tanpa harus mematikan Arema yang satunya.
Mempersatukan Arema dengan membeli saham kedua klub kekinian bisa menjadi solusi yang paling realistis di tengah bebalnya manajemen keduanya. Caranya dengan membeli saham kedua Arema secara patungan. Bukan mustahil suporter kini tidak saja sebagai pendukung dari atas tribun, melainkan juga memanajemen klub itu sendiri.
Dilansir dari Tribunnews, Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Djohan Pinnarwan mengatakan, fanatisme para supporter bisa dikonversikan ke dalam kesertaan modal. Biasanya para suporter klub memiliki dana atau urun dana (crowdfunding) sebagai sumber dana yang berkelanjutan untuk klub.
Namun, kesertaan para suporter dalam kepemilikan saham sebuah klub sepak bola itu bukan tanpa persiapan dan infrastruktur. Bagaimanapun juga, yang namanya bisnis mensyaratkan tata kelola yang baik. Infrastrukturnya yaitu akuntansinya, tata kelola dan transparansi harus dipersiapkan dengan baik.
Itulah perkembangan crowdfunding di klub sepakbola. Uraikan pendapat Anda di kolom komentar.
-Sebastian Atmodjo-