26.3 C
Jakarta
Senin, 23 Desember, 2024

Ribuan Karyawan KB Bukopin Resign Massal, Apa Pelajaran Pentingnya bagi Pekerja?

JAKARTA, duniafintech.com – Sebanyak 1.400 karyawan PT KB Bukopin (Tbk) kompak mengundurkan diri alias resign massal pada akhir 2021 atau Desember lalu. Jumlah ini diketahui setara dengan sekitar 30 persen dari total karyawan perusahaan tersebut. Lantas, apa pelajaran pentingnya bagi pekerja terkait resign massal karyawan Bukopin ini?

Sebelumnya, menurut manajemen PT KB Bukopin, ribuan karyawan ini keluar secara berjamaah setelah bank yang diambil alih oleh Kookmin Bank ini menawarkan program pensiun dini. Dikatakan Corporate Communication KB Bukopin, Tyas Hardi, pemangkasan sudah sesuai dengan visi transformasi core banking, yang di antaranya mencakup teknologi menuju New Generation Banking System (NGBS).

Adapun dalam program tersebut, perusahaan menawarkan karyawan untuk pensiun atau mengundurkan diri dengan sejumlah kompensasi, contohnya pesangon melebihi aturan yang ditetapkan pemerintah dan fasilitas asuransi kesehatan kepada eks karyawan dan keluarga hingga 6 bulan ke depan.

Tyas pun menegaskan bahwa perusahaan tidak serta-merta lepas tangan terhadap nasib karyawannya. Perusahaan pun tetap memberikan pelatihan keahlian manajerial dan penjurusan lainnya untuk karyawan yang ingin beralih ke sektor lain.

“Perusahaan (memang) melaksanakan program (pengunduran diri) secara sukarela, tidak ada paksaan, tidak ada penunjukan langsung, open to all karyawan Bukopin,” sebutnya, seperti dilangsir dari CNNIndonesia.com, Selasa (25/1).

Transformasi berdampak terhadap pekerja

Dikatakan Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, transformasi teknologi di sektor perbankan yang berdampak pada kalangan pekerja memang tak bisa lagi terelakkan. Pasalnya, transformasi ini adalah tuntutan perkembangan dunia dan beralihnya kebutuhan nasabah menuju digital banking.

Di samping itu, dirinya pun melihat bahwa pesatnya peralihan bank konvensional ke bank digital dipicu oleh akuisisi perusahaan teknologi terhadap bank demi menyulapnya menjadi bank digital.

Ia pun memproyeksikan bisnis bank digital akan terus bertumbuh, bahkan bakal booming ke depannya. Hal itu pun bakal membuat pemangkasan karyawan akan lebih massif. Meski demikian, dirinya pun tidak dapat menyebut akan seberapa besar karyawan di sektor perbankan yang bakal dipangkas.

“Produk ini bisnisnya memang sedang booming dan saya pikir ke depan dengan digital banking bisa dari sisi layanan, mindset, sekarang serba digital, dan itulah kebutuhan nasabah ke depan,” tuturnya, kemarin.

Disampaikannya, sejatinya, yang terjadi pada KB Bukopin ini bukanlah sesuatu yang baru sebab sejumlah bank lainnya pun sudah lebih dulu bertransformasi ke digital dan memangkas karyawan mereka secara besar-besaran.

Adapun masifnya transformasi yang terjadi dapat ditilik dari banyaknya kantor cabang (kacab) yang tak lagi dibutuhkan lantaran segala transaksi sudah diselesaikan melalui aplikasi handphone.

Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebanyak 3.074 kantor cabang bank umum tutup sejak tahun 2015 hingga Maret 2021 lalu. Disampaikan Deputi Direktur Basel dan Perbankan Internasional OJK, Tony, lantaran penutupan ini, jumlah kantor cabang bank yang pada tahun 2015 mencapai 32.963, turun menjadi tinggal tersisa 29.889 per Maret 2021.

Hal itu pun sejalan dengan kenaikan transaksi digital banking di Indonesia. Dalam catatan Bank Indonesia (BI), hanya dalam 4 tahun ini, terjadi lonjakan nilai transaksi digital banking sekitar Rp1.000 triliun. Adapun pada tahun 2017, transaksi digital banking tercatat sebesar Rp1.708 triliun dan naik menjadi Rp2.775 triliun pada tahun 2020.

Dalam pandangan Josua, pantas saja jika bank digital terus mengefisiensikan beban, baik itu karyawan maupun biaya sewa gedung untuk menyaingi perusahaan pembiayaan baru, misalnya P2P lending alias pinjaman online (pinjol).

Apabila beban perbankan tinggi dan tak dapat menawarkan bunga kredit yang kompetitif maka boleh jadi bank akan ditinggal nasabah lantaran kalah saing dari kompetitornya yang serba digital.

Lebih jauh, ia pun melihat bahwa fenomena digitalisasi adalah hasil dari keinginan BI dan OJK yang mengharapkan jumlah bank dirampingkan dan industri lebih berdaya saing dengan menekan biaya sehingga suku bunga yang dibebankan ke nasabahnya lebih rendah.

“Ujung-ujungnya, harapannya bisa mendukung ke pembiayaan sektor riil, baik dari sisi korporasi ataupun konsumennya,” tuturnya.

Di samping itu, ia juga melihat pekerjaan-pekerjaan di perbankan yang telah dan bakal terus tergerus adalah jenis yang mudah digantikan mesin dan bersifat repetitif, contohnya teller bank, customer service (CS), dan lainnya. Sementara itu, pekerjaan yang masih akan dibutuhkan adalah pekerjaan yang ber-skill tinggi atau yang bersinggungan dengan teknologi atau programming, misalnya analis data.

Dalam proyeksinya, untuk 20 tahun ke depan, industri perbankan tak akan lagi sama dan segalanya akan serba digital. Maka dari itu, dirinya pun mewanti-wanti pekerja di sektor ini untuk segera bersiap diri mengasah kemampuan untuk mengisi jenis pekerjaan baru atau pindah ke sektor yang masih akan membutuhkan tenaga kerja tinggi.

 

 

Penulis: Kontributor / Boy Riza Utama

Editor: Anju Mahendra

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU