27.7 C
Jakarta
Minggu, 5 Mei, 2024

Bos BRI Ungkap Bangkrutnya Silicon Valley Bank dan Credit Suisse

JAKARTA, duniafintech.com – Bangkrutnya dua bank besar di dunia yaitu Silicon Valley Bank (SVB) dan Credit Suisse setidaknya membawa sentimen tersendiri bagi bank domestik Indonesia, termasuk BRI. 

Menurut Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, Sunarso, bangkrutnya kedua bank tersebut, yakni Silicon Valley Bank (SVB) dan Credit Suisse, diakibatkan tidak memiliki likuiditas untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Kemudian akibatnya risiko likuiditas pendanaan cadangan terdapat ketidakcocokan dengan aset dan liabilitas.

Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Aftech Buka Suara soal Dampak Ambruknya Silicon Valley Bank terhadap Industri Fintech Indonesia

Dia mengungkapkan akibat bangkrutnya kedua bank tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap pasar modal Amerika Serikat. Kemudian bunga Fed juga terus mengalami kenaikan hingga menjadi 4,75 persen, akibatnya membuat rugi aset keuangan untuk dijual. Selain itu, permasalahan tersebut ditambah dengan nasabah terkonsentrasi di sektor startup dan teknologi.

“Itu pentingnya mengelola maturity aset dan liabilities agar tidak mismatch. Sehingga menjadi pelajaran penting terutama risiko likuiditas. Makanya kita tidak mau mengumpulkan portofolio dalam satu keranjang,” kata Sunarso. 

Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Dian Ediana Rae menjelaskan penutupan kedua bank yaitu Silicon Valley Bank (SVB), pada dasarnya dipicu masalah teknis individu bank terkait mismatch asset & liabilities management yang tidak di-cover dengan ketersediaan likuiditas dan modal yang memadai telah memicu permasalahan psikologis dengan turunnya kepercayaan pada institusi keuangan. 

“Dampaknya penurunan kepercayaan tersebut telah memberi efek rembetan pada beberapa bank lain dan menyebar lintas yurisdiksi,” kata Dian. 

Dian menilai kerentanan yang saat ini terjadi di perbankan global terutama dipicu oleh kegagalan bank tertentu di Amerika Serikat dan Eropa tidak memiliki dampak signifikan terhadap industri perbankan Indonesia.

Dia menjelaskan berbagai indikator  menunjukkan bahwa perbankan Indonesia dalam kondisi yang solid dengan rata-rata rasio prudential yang tetap di atas rata-rata perbankan global. Sebagai gambaran, pada posisi Januari 2023, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) sebesar 25,93 persen dan sekitar 85 persen komponen modal masuk dalam klasifikasi modal inti (Tier 1 capital; CET 1).

Sebagai perbandingan, rasio modal inti perbankan Amerika 13,52 persen dan Eropa sebesar 16,13 persen. Selain itu, kinerja likuiditas perbankan Indonesia terjaga dengan baik, antara lain ditunjukkan dengan Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net-Stable Funding Ratio (NSFR) masing-masing tercatat sebesar 238,22 persen dan 134,58 persen. 

Baca juga: Dampak Silicon Valley Bank Bangkrut bagi Indonesia tidak Signifikan, Ini Alasannya

“Kondisi likuiditas tersebut juga jauh lebih baik dibandingkan dengan rasio LCR dan NSFR perbankan di Amerika sebesar 120,43 persen dan 123,20 persen serta perbankan di Eropa sebesar 152,39 persen dan 120,21 persen,” kata Dian. 

Dia menilai saat ini aset perbankan Indonesia  juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Dia menilai dalam menyikapi kasus SVB dan efek rembetannya, meski dampaknya minimal pada industri perbankan Indonesia, perbankan harus memiliki prinsip-prinsip kehati-hatian. Kemudian, rasio kecukupan modal dan ketersediaan likuiditas pada aset yang berkualitas tinggi harus tetap dijaga. Praktek-praktek excessive risk taking behaviour yang spekulatif harus dihindari. Selain itu, untuk menguji ketahanan perbankan, secara regular perbankan diminta melakukan stress test pada berbagai skenario.

Dian mengatakan sangat disadari bahwa dinamika global dan kebijakan makroprudensial yang cepat perlu terus diantisipasi dengan seksama. Tensi geopolitik global dan volatilitas kondisi pasar masih akan terus terjadi dengan berbagai dinamikanya. Sepanjang prinsip kehati-hatian dan praktek-praktek perbankan yang sehat terus dijaga, perbankan Indonesia akan tetap resilien dan akan terus bertumbuh dengan sehat sebagaimana kondisi saat ini.

“OJK akan terus memperkuat koordinasi antarotoritas terutama dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna memastikan stabilitas sistem keuangan nasional tetap terjaga,” kata Dian.

Baca juga: Ini Kata Bos BI Terkait Penyebab Bangkrutnya Silicon Valley Bank

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Iklan

ARTIKEL TERBARU

LANGUAGE