JAKARTA, duniafintech.com – Tata cara penagihan yang dilakukan oleh perusahaan fintech peer to peer lending (Fintech P2P lending) atau pinjaman online (pinjol) kepada pengguna akan diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Adapun langkah pengaturan ini bakal dibuat seiring dengan maraknya kasus penagih atau debt collector utang yang bertindak tidak wajar kepada pengguna. Pinjaman online pun nantinya bisa melakukan penagihan minimal dengan cara melayangkan surat peringatan sesuai perjanjian yang disepakati oleh kedua pihak.
“Proses penagihan kepada penerima dana yang wanprestasi dilakukan paling sedikit dengan memberikan surat peringatan dengan tata cara sesuai yang terdapat dalam perjanjian antara pemberi dana dan penerima dana,” demikian tertulis dalam Rancangan Peraturan OJK (RPOJK), yang dikutip dari CNNIndonesia.com, Selasa (1/2/2022).
OJK pun bakal memberikan lampu hijau mengenai proses penagihan yang bisa dilakukan oleh perusahaan fintech itu sendiri ataupun lewat pihak ketiga.
“Proses penagihan dapat dilakukan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian kerja sama, tetapi tanggung jawab proses penagihan tetap berada pada penyelenggara LPBBTI (Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi/fintech),” imbuh OJK.
Lebih jauh, OJK juga memberikan penegasan bahwa proses penagihan, baik yang dilakukan oleh perusahaan pinjol ini maupun melalui pihak ketiga, mesti mengikuti ketentuan yang berlaku.
“Selain itu, diatur pula bahwa penagihan baik yang dilakukan sendiri oleh penyelenggara LPBBTI maupun oleh pihak lain harus dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan peraturan perundang-undangan,” sambung OJK.
Untuk diketahui, OJK sendiri belum mengatur proses penagihan utang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 mengenai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Adapun pada tahun lalu, OJK menerima lebih dari 500 ribu pengaduan atau naik 22 kali lipat ketimbbang tahun 2017 lalu. Mayoritas masyarakat melaporkan mengenai masalah dengan fintech, misalnya produk keuangan yang ditawarkan, keberatan biaya denda, restrukturisasi pinjaman online, legalitas layanan keuangan, hingga perilaku buruk debt collector.
Tujuh aturan baru
Sebelumnya, melangsir dari Bisnis.com, OJK sudah mengungkap beberapa poin aturan baru bagi industri teknologi finansial pendanaan bersama alias P2P lending. Menurut Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Riswinandi Idris, setidaknya terdapat 7 aturan baru di dalam regulasi yang bakal menggantikan POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi tersebut.
Misalnya, dalam hal kepemilikan platform, bentuk badan hukum, modal pendirian, nilai ekuitas, batas maksimum pendanaan, pemegang saham pengendali, dan sejumlah larangan untuk perlindungan konsumen, seperti tata cara penagihan.
Adapun rinciannya, platform atau penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) hanya boleh punya kepemilikan tunggal. Dalam hal ini, setiap pihak hanya bisa menjadi pemegang saham pengendali pada satu penyelenggara LPBBTI konvensional dan satu penyelenggara LPBBTI syariah.
Di samping itu, OJK pun tidak memperbolehkan lagi adanya bentuk badan hukum koperasi sebagaimana dalam aturan lama. Aturan baru ini menegaskan LPBBTI hanya bisa dilakukan oleh penyelenggara yang berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT).
Kemudian, OJK pun mengungkap bakal adanya pengetatan aturan mengenai modal pendirian dan ekuitas, yakni penyelenggara LPBBTI mesti punya modal disetor minimum sebesar Rp25 miliar saat pendirian.
Adapun penyelenggara LPBBTI yang sudah mengantongi izin dari OJK mesti selalu punya ekuitas minimum sebesar Rp12,5 miliar, yang dipenuhi secara bertahap selama 3 tahun sejak POJK diundangkan.
Mengenai batas pendanaan penerima dana (borrower) masih sama, yakni maksimal sebesar Rp2 miliar. Meski demikian, terdapat batasan baru bagi pemberi pinjaman (lender) dari OJK, tepatnya pendanaan yang bisa diberikan dari setiap lender dan afiliasinya adalah maksimum 25 persen dari pendanaan outstanding setiap bulan suatu platform, dengan masa transisi secara bertahap selama 18 (delapan belas) bulan sejak POJK diundangkan.
Akan tetapi, pendanaan yang diberikan oleh setiap pemberi dana yang merupakan pelaku usaha jasa keuangan yang diawasi OJK bisa lebih dari 25 persen dari pendanaan outstanding platform setiap bulan, yakni maksimum 75 persen dari pendanaan outstanding setiap bulan suatu platform P2P lending.
Selanjutnya, ada perubahan aturan terkait tata kelola. Dalam hal ini, penyelenggara LPBBTI wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik bagi perusahaan (good corporate governance) yang dituangkan dalam pedoman dengan isi minimum 4 poin ini:
- Kesatu, tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS.
- Kedua, kelengkapan dan tata cara pelaksanaan tugas satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal penyelenggara.
- Ketiga, kebijakan dan prosedur penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal, dan auditor eksternal.
- Keempat, kebijakan dan prosedur penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal dan penerapan tata kelola Teknologi Informasi.
Kemudian, penyelenggara LPBBTI wajib menyampaikan laporan kepada OJK yang terdiri dari laporan berkala, misalnya laporan secara real time, laporan bulanan, dan laporan tahunan, serta laporan insidentil, seperti laporan adanya fraud.
OJK pun menekankan poin perlindungan konsumen, dengan kewajiban terkait 5 prinsip, yakni transparansi; perlakuan yang adil; keandalan; kerahasiaan dan keamanan data atau informasi konsumen; dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, dengan mengacu pada POJK mengenai perlindungan konsumen.
Di samping itu, salah satu poin yang ditekankan oleh OJK dalam aturan baru ini adalah proses penagihan kepada borrower yang wanprestasi. OJK pun mewajibkan penagihan dilakukan paling sedikit dengan memberikan surat peringatan, dengan tata cara sesuai yang terdapat dalam perjanjian antara lender dan borrower.
Proses penagihan bisa dilakukan oleh pihak lain alias pihak ketiga atau debt collector berdasarkan perjanjian kerja sama, tetapi tanggung jawab proses penagihan tetap berada pada penyelenggara LPBBTI.
Selanjutnya, juga diatur bahwa penagihan, baik yang dilakukan sendiri oleh Penyelenggara LPBBTI maupun oleh pihak lain, mesti dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan peraturan perundang-undangan.
Berikutnya, sebagai bagian dari perlindungan konsumen dan menjaga praktik penyelenggaraan LPBBTI yang sehat, otoritas juga memberikan beberapa poin larangan bagi para pemain industri fintech P2P lending, salah satunya adalah platform dilarang untuk melakukan kegiatan usaha di samping kegiatan usaha yang diatur dalam POJK ini; bertindak sebagai pemberi dana atau penerima dana; dan mewakili pemberi dana untuk melakukan pendanaan dan/atau menyediakan fitur pendanaan secara otomatis.
Kemudian, platform pun dilarang untuk memberikan akses kepada anggota direksi, anggota dewan komisaris, DPS, dan karyawan serta afiliasinya untuk bertindak sebagai pemberi dana dan penerima dana.
Bukan itu saja, setiap platform pun dilarang untuk memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; menerbitkan surat utang; memiliki pinjaman; dan memberikan rekomendasi kepada pengguna.
Di samping itu, platform dilarang pula untuk mempublikasikan informasi yang fiktif dan menyesatkan; melakukan penawaran layanan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pengguna melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan; dan mengenakan biaya kepada pengguna atas layanan pengaduan.
Penulis: Kontributor / Boy Riza Utama
Editor: Anju Mahendra