JAKARTA, duniafintech.com – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyelenggaraan Teknologi Finansial (fintech).
Namun kebijakan tersebut dinilai sangat memberatkan bagi pengusaha dan nasabah dikarenakan akan pengenaan pajak terhadap penyelenggaraan fintech. Cakupan PPh dan PPN dimulai dari pinjaman online, uang elektronik, dompet elektronik, asuransi online sampai layanan berbasis blockchain seperti kripto.
Menanggapi hal itu, praktisi ekonomi digital Wisnu Agung Prasetya menilai kebijakan yang dikeluarkan tersebut akan menimbulkan eksploitasi konsumen karena pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tersebut memanfaatkannya untuk menaikan target pajak.
Baca juga: Kripto Dikenakan Pajak Mulai 1 Mei 2022, Ini Tanggapan CEO Indodax
Menurutnya pemerintah keliru hingga mengeluarkan kebijakan pengenaan pajak terhadap penyelenggara teknologi finansial. Pertama, dalam praktek fintech P2P Lending konsumen belum menikmati insentif dari cara produksi baru dari model bisnis melalui teknologi. Apalagi dalam pengajuan prosesnya terbilang cepat, mudah dan tanpa agunan. Sehingga membuat bunga yang dialami konsumen lebih besar dari perbankan.
“Kekeliruan kedua, penerapan pajak sebelum ekosistem bisnisnya jadi dan diyakini akan sustain. Ini salah satu yang akan dilihat investor, bisnis ini arahnya kemana. Semakin kuat pelembagaannya dan sustain atau ajimumpung. Sementara kelangsungan industrinya tidak dipikirin,” ujar Wisnu kepada duniafintech.com. Jakarta, Rabu (27/7).
Sebagaimana diketahui, mulai 1 Mei kemarin, pinjaman online terkena pungutan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selain pinjaman online, pungutan PPh dan PPN ini juga dikenakan pada jenis produk layanan jasa fintech lainnya.
Adapun, aturan pinjaman online terbaru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial
Dalam aturan tersebut, perusahaan dan layanan fintech akan terkena pajak penghasilan (PPh) dan atau pajak pertambahan nilai (PPN) dengan terbitnya PMK 69/PMK.03/2022 ini.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: 100 Pinjol Ilegal yang Ditutup OJK
Cakupan yang terkena PPh dan PPN fintech ini mulai dari pinjol, uang elektronik, dompet elektronik, asuransi online, sampai layanan berbasis blockchain alias kripto, dan kawan-kawan.
PMK menyebut, yang dimaksud pelaku dalam layanan pinjam meminjam ini meliputi pemberi pinjaman, penerima pinjaman, dan penyelenggara layanan pinjam-meminjam.
Pajak penghasilan yang dikenakan kepada pemberi pinjaman dan atau penyelenggara pinjol adalah PPh 23 atau PPh 26. Yang dikenai PPh ini adalah penghasilan berupa bunga pinjaman yang didapat dari nasabahnya.
“Pemberi pinjaman menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman melalui penyelenggara layanan pinjaman meminjam,” tulis Pasal 2 ayat (1) PMK.
Baca juga: Aturan Pinjaman Online Terbaru, Kena Pajak hingga Soal Debt Collector
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com
Penulis: Heronimus Ronito
Editor: Rahmat Fitranto