duniafintech.com – Suatu kesinambungan antara pihak yang satu dengan yang lain dapat terjalin dengan adanya komunikasi yang baik. Contohnya adalah satu pihak sebagai regulator yang mengatur jalannya usaha agar sesuai di jalurnya, sedangkan satu pihak lainnya sebagai pelaku dapat mengikuti aturan dari regulator demi melindungi usaha tersebut. Di sinilah upaya yang sedang dilakukan antara startup fintech dan regulator agar dapat saling memahami [baca juga : OJK SEBAGAI REGULATOR STARTUP FINTECH DI INDONESIA (1)].
Dilansir dari laman Liputan6, bahwa masih banyak startup fintech yang belum mengetahui keberadaan OJK sebagai pihak regulator. Karena itu, ia mengimbau ke semua pelaku startup fintech untuk mengetahui peraturan yang telah dibuat OJK demi bisa mempromosikan industri mereka.
“Untuk bisa memajukan industri ini, mereka harus tahu ada OJK dan menuruti rules and regulations yang kita bikin. Beberapa rekan fintech yang kami temui bahkan belum tahu ada OJK. Kami itu otoritas dari seluruh aktivitas keuangan, jadi ada baiknya buat teman-teman (startup fintech) ketemu kita dalam fase awal sebelum mematangkan inovasi mereka,”ungkap Triyono Gani, Director of International Affairs Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Komunikasi yang baik amat diperlukan antara pelaku startup Fintech dengan regulator, agar tercipta kesinambungan dan meningkatkan inklusi keuangan. Sebab boleh dikatakan, bahwa hadirnya startup fintech telah meluaskan jaringan keuangan untuk penduduk lokal yang unbanked.
Bukan itu saja, pertumbuhan smartphone di era digital saat ini sangat berkembang. Generasi milenial yang memanfaatkan kemudahan tersebut dikarenakan praktis, ekonomis, dan efisien. Oleh karena itu, startup di bidang fintech menjadi pilihan generasi milenial dalam mengakses perbankan atau pembiayaan, contohnya adalah saat pembayaran kuliah. Jadi dapat disimpulkan, bahwa startup fintech memiliki peluang pasar yang besar untuk terus berkembang dan tentunya diiringi pula oleh ketentuan dan aturan yang dapat melindungi pihak-pihak yang terkait.
Pematangan atas ide dan inovasi juga diperlukan. Tujuannya adalah agar ketika startup fintech didirikan dengan model A, janganlah berubah menjadi model B, sehingga mantap dengan produk tersebut. Seperti diketahui bahwa startup fintech terdiri dari beragam jenis, misalnya peer to peer lending, cashlez, point of sale, dan lain – lain.
Jadi saat ia berdiri menyediakan solusi cashless, jangan tiba-tiba berubah lagi menyediakan peer to peer lending. Semua harus didiskusikan, jangan duduk sendiri-sendiri,” kata Triyono. “Masalahnya adalah lanskap dari masing-masing startup penyedia solusi fintech yang berbeda-beda. Variasi semacam ini harus dicermati lebih lanjut. Karena itu kami sebagai regulator harus menata ulang,” sambungnya.
Hal serupa diungkapkan pula oleh CEO Investree, Dickie Wijaya:
“Bisnis model harus benar-benar dikordinasikan (dengan regulator). Jadi, kalau ada startup fintech yang baru mulai, tetapi model bisnisnya tidak matang dan sudah dirundung banyak peraturan, kemungkinan bisa mati. Makanya, sandbox approach di sini benar-benar penting.”
Dengan terciptanya komunikasi yang baik dari semua pihak, harapan memungkinkan untuk diraih, salah satunya adalah cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara terbesar akan perekonomian digital-nya di Asia Tenggara.
Written by : Fenni Wardhiati