30.1 C
Jakarta
Jumat, 22 November, 2024

KONSUMEN BLOCKCHAIN: REVOLUSI TRANSPARANSI DALAM BERBELANJA

duniafintech.com – Teknologi baru telah dicanangkan untuk merevolusi cara berbelanja serta produk yang dikonsumsi, yang akan memberi lebih banyak peluang bagi konsumen Australia untuk mengetahui dengan tepat apa yang mereka beli dan dari mana asalnya.

Tampaknya butuh bertahun-tahun bagi sebuah teknologi untuk sepenuhnya masuk ke dalam sektor ritel dan barang jadi, namun jenis teknologi digital yang relatif baru yang dikenal sebagai Blockchain diperkirakan akan menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman berbelanja modern.

Apa itu Blockchain?

Sederhananya, Blockchain adalah semacam buku besar digital terdesentralisasi yang mencatat transaksi dan informasi baik secara kronologis maupun publik, serta di-share pada jaringan online. Yang terpenting catatan tersebut tidak dapat diubah dan tidak rusak (corrupt). Blockchain adalah teknologi yang mendasari penggunaan Bitcoin dan menggunakan suatu bentuk matematika yang disebut kriptografi untuk memastikan bahwa catatan tersebut tidak dapat dipalsukan atau diubah.

Jadi, bagaimana hal ini bisa diberlakukan untuk belanja bahan makanan?

Jika sistem tersebut telah digunakan pada sektor ritel, artinya konsumen secara teoritis dapat memindai produk tertentu dengan smartphone mereka dan dapat melihat perjalanan produk tersebut untuk sampai ke rak toko. Misalnya, pelanggan bisa melihat berapa lama “buah segar” diambil dari perkebunan hinga ke rak supermarket dan apakah buah tersebut pernah dibekukan. Ini bisa dengan cepat menunjukkan kepada Anda di mana, kapan dan bagaimana produk – seperti kaus di Kmart atau sekantong kopi – diproduksi dan dikirimkan kepada Anda, kata konsultan digital dan futuris Chris Riddell.

Seperti halnya buah dan sayuran segar, kita sering berasumsi bahwa suatu produk itu organik, atau daging ayam kampung (free-range) misalnya, atau berasal dari Australia, namun kenyataannya kita tidak tahu dari mana sebenarnya produk itu berasal meskipun ada informasi di kemasannya.” katanya kepada news.com.au.”

Australia memiliki peraturan yang ketat terhadap iklan makanan dan klaim yang dibuat perusahaan tentang produknya. Tapi masih saja ada klaim yang tidak berdasar atau terlalu muluk-muluk. Pada tahun 2015 dan 2016 ada dua perusahaan Australia didenda dengan total lebih dari setengah juta dolar karena salah melebeli telur mereka sebagai telur ayam kampung (free-range).

Pada hari Kamis lalu, pengawas konsumen utama negara itu, ACCC mendesak perusahaan untuk meninjau kembali label negara asal pada produk mereka untuk memastikan mereka mematuhi Undang-Undang Konsumen Australia.

Konsumen sebenarnya bersedia membayar lebih untuk produk yang berasal dari negara tertentu, asalkan mereka bisa percaya pada labelnya. Gagal memberi label produk dengan benar dapat mengakibatkan perusahaan didenda hingga $1,1 juta, ” kata wakil ketua ACCC Dr. Michael Schaper.

Maka di sinilah teknologi Blockchain masuk.

Pertarungan mendapatkan kepercayaan konsumen

Konsumen Australia kini semakin mementingkan kepercayaan terhadap suatu merek yang mereka beli serta membuat pilihan etis. Pada saat bersamaan, kepercayaan pada merek-merek utama justru sangat rendah. Menurut pakar industri, dengan pertumbuhan belanja online, masuknya pemain seperti Amazon ke Australia dan munculnya produk influencer di media sosial, pertarungan kepercayaan konsumen lebih ketat dari sebelumnya.

Blockchain akan memberikan transparansi pada merek, mulai dari alpukat hingga sepatu Nike,” kata Riddell. Dia yakin ini akan menjadi bagian integral dari langkah Anda ke supermarket di masa depan. “Kompetisi sekarang adalah mengenai bagaimana bisnis Anda bisa menunjukkan transparansi dan memberikan wawasan di balik merek,” katanya.

Menurut sebuah survei dari kelompok konsumen Choice, 70 persen orang Australia tertarik pada produk-produk etis dan klaim iklan yang dibuat pada suatu produk. Saat ini, ada sejumlah aplikasi yang dirancang untuk membantu orang Australia membuat pilihan etis saat berbelanja, seperti Shop Ethical! yang berfokus pada makanan atau Good On You yang mengkhususkan pada pakaian.

Banyak konsumen sebenarnya bersedia membayar ekstra jika mereka bisa tahu lebih banyak tentang suatu produk, terutama produk makanan segar dan daging.

[Namun] Coles dan Woolies tidak akan terlalu antusias untuk melakukan ini, karena akan memberikan tingkat transparansi di balik suatu merek, yang justru tidak mereka inginkan,” kata Riddell.

Pada saat kita bergerak menuju dunia yang saling terkait atau disebut juga sebagai The Internet of Things, kemajuan teknologi chip dan sensor akan mempermudah penerjemahan data dari pergerakan barang fisik secara otomatis, sehingga mendorong sistem Blockchain untuk diaplikasikan di industri ritel.

Kebangkitan Blockchain

Teknologi Blockchain awalnya diaplikasikan di sektor perbankan, namun dalam beberapa tahun terakhir potensi utilitasnya telah coba diterapkan ke sejumlah industri lain – dan hampir semua perusahaan global ingin memanfaatkan penggunaannya di pasar ritel.

Raksasa ritel AS Walmart saat ini sedang bekerja sama dengan IBM dan sebuah universitas di Beijing untuk mengikuti proses pergerakan daging babi di China dengan menggunakan Blockchain. Sementara itu, Microsoft dan mitranya Mojix memiliki sebuah stan di pameran National Retail Federation tahunan di New York awal tahun ini, dan mereka menjelaskan bahwa teknologi Blockchain dan IoT dapat menciptakan revolusi pada rantai suplai dan transparansi persediaan.

Di Inggris, sebuah startup bernama Provenance menjanjikan calon klien mereka untuk dapat menggunakan teknologi berbasis Blockchain untuk berbagi perjalanan produk dan dampak bisnis mereka terhadap lingkungan dan masyarakat.

Sementara perusahaan startup yang berbasis di Sydney, BronTech bekerja untuk menemukan solusi menggunakan Blockchain untuk memungkinkan orang lebih mudah memperoleh akses dan berbagi data pribadi mereka secara online, seperti catatan medis, dengan cara yang aman.

Meski begitu, ada pula pihak yang masih skeptis terhadap adopsi Blockchain pada indsutri ritel. Misalnya, Emma Poposka, salah satu pendiri sebuah perusahaan yang percaya bahwa Blockchain memiliki potensi besar dalam menciptakan jaringan yang dapat berbagi hal seperti aset keuangan, namun menurutnya tidak cocok untuk industri ritel dan makanan. Ia ragu terhadap ide bahwa Blockchain bisa menciptakan transparansi pada rantai suplai ritel, terutama ketika mencatat asal produk yang sebenarnya, karena orang bisa menemukan cara untuk memanipulasi apa yang tercatat dalam rantai suplai. Menurutnya transparansi industri ritel dan makanan bukanlah masalah teknologi.

 

Sumber: news.com.au

Written by: Rosmy Sophia

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU