JAKARTA, duniafintech.com โ Perusahaan rintisan (startup), mulai dari LinkAja, Zenius, hingga SiCepat, mulai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada banyak karyawannya dalam waktu dekat. Bahkan JD.ID juga turut meramaikan badai PHK.
Adapun asalannya adalah karena buruknya kondisi ekonomi makro dan adanya reorganisasi Sumber Daya Manusia (SDM).
“Saat in, kami sedang mengalami kondisi makro ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Untuk beradaptasi dengan dinamisnya kondisi makro ekonomi yang memengaruhi industri, Zenius perlu melakukan konsolidasi dan sinergi proses bisnis untuk memastikan keberlanjutan,” ucap manajemen Zenius, beberapa waktu lalu.
Sebagai informasi, lebih dari 200 karyawan terpaksa harus meninggalkan Zenius. Sementara itu, untuk karyawan LinkAja dan JD.ID, jumlahnya belum diketahui pasti. Namun, yang jelas jelas ratusan orang akan di-PHK dari startup tersebut.
Baca juga: Pesaing Ruangguru, Zenius PHK 25 Persen Karyawannya, Total Lebih dari 200 Orang
Melihat kondisi perusahaan rintisan atau start-up yang kian menjadi perbincangan dalam beberapa waktu terakhir, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, mengatakan, ke depannya, startup akan mulai banyak PHK, baik dalam skala kecil maupun besar.
Dugaan sementara, perusahaan-perusahaan itu terkena dampak ledakkan gelembung atau bubble burst hingga mereka mengambil langkah PHK terhadap karyawannya secara besar-besaran.
Ditegaskan Heru, jika sampai dua tahun ke depan startup ini tidak bisa berkembang, imbuhnya, maka startup dipastikan akan gugur. Harapannya, pemerintah bisa turun tangan menyelidiki fenomena ini supaya sejalan dengan target pemerintah memiliki 25 unicorn di 2024.
Heru pun bilang, kondisi tersebut didorong oleh fakta sulitnya startup mencari pendanaan saat ini, sementara untuk meraih pengguna, rata-rata start-up harus melakukan bakar uang.
“Pendanaan kian ke sini juga kian sulit, apalagi untuk layanan yang sudah melewati fase pertumbuhannya, seperti e-commerce, pembayaran digital, travel dan edukasi, digantikan dengan arah baru startup yang mengusung kecerdasan buatan, big data analytic, internet of things, maupun metaverse,” katanya, dikutip dari Detik.com, Minggu (29/05).
“Linkaja, Zenius, memang cukup berat karena pemain utamanya sudah jauh di depan. Kalau mau maju, harus kuat bakar uang,” jelasnya.
Baca juga: Unilever Melakukan PHK Sepihak 161 Karyawan, Buruh Langsung Demo
Memandang adanya kondisi ini, ia menyebut bahwa sebagai langkah menghadapinya, restrukturisasi menjadi salah satu pilihan dan solusi bagi para startup untuk bertahan. Hal itu pun senada dengan yang disampaikan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira.
Menurutnya, penyebab PHK beberapa startup terjadi lantaran mengalami kesulitan pendanaan setelah rencana bisnis terpengaruh pandemi COVID-19 dan penurunan pengguna yang signifikan.
“Faktornya, secara makro, kenaikan tingkat suku bunga diberbagai negara membuat investor mencari aset yang lebih aman. Imbasnya, saham startup teknologi dianggap high risk. Maka banyak yang meramal tahun ini adalah winter-nya startup alias tekanan sell-off besar-besaran di industri digital,” tuturnya.
Akhirnya, kata dia lagi, banyak startup kesulitan mendapatkan pendanaan baru dan investor makin selektif dalam memilih startup. Di lain sisi, mantan Ketua Umum Asosiasi e-commerce Indonesia, Ignatius Untung, melihat bahwa fenomena PHK di startup bukanlah bagian dari bubble burst. Ia memandang, hal itu lebih disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang memang sedang lesu.
“Jangankan resesi, sekarang saja sudah banyak supermarket besar, bahkan hypermarket dan toko offline lainnya, yang tutup, padahal belum terjadi resesi,” terangnya.
Kata Ignatius lagi, definisi bubble burst versinya adalah saat banyak perusahaan yang sudah mendapatkan pendanaan investor, tetapi gagal melanjutkan perjalanannya alias bangkrut. Artinya, ekspektasi terhadap bisnis yang sebelumnya menggelembung, tetapi ternyata tidak begitu.
“Kalau yang menimpa start-up kita sekarang ini kan tidak. Karena kan investor yang tetap bertahan dan start-up yang bertahan masih banyak,” paparnya.
“Kalau bubble burst itu kan definisinya menggelembung, terus tidak bisa bertahan, akhirnya tidak bisa berjalan, sedangkan kan sekarang masih ada IPO dan lain-lain. Artinya, kepercayaan masyarakat masih ada,” imbuhnya.
Bahkan, sambungnya, fenomena PHK besar-besaran ini bukan hanya perlu dikhawatirkan oleh pegawai startup saja, melainkan juga di pegawai perusahaan konvensional. Fenomena ini, dalam amatannya, tidak terbatas terjadi di lingkungan startup saja.
“Pilihannya, ketika pemasukannya sudah tidak terlalu banyak, itu yang pertama fund rising dengan mencari investor, tapi itu susah karena enggak banyak investor yang mau. Option kedua, yaitu dengan efisiensi dan salah satunya dengan melakukan PHK,” tandasnya.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Zenius, Startup Teknologi Edukasi yang PHK 200 Karyawannya
Penulis: Kontributor/Boy Riza Utama