JAKARTA, duniafintech.com – Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022 mendatang dinilai bakal bikin jumlah orang miskin bertambah. Hal itu diungkapkan oleh Pakar Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
Sebagai informasi, kenaikan PPN menjadi 11% ini terjadi seiring dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Adapun dalam pandangan Bhima, dampak kenaikan PPN menjadi 11 persen per April 2022 ini cukup kompleks.
Pasalnya, apabila terjadi kenaikan tarif PPN, tetapi tidak disertai perbaikan pendapatan masyarakat yang signifikan, hal itu bakal menggerus daya beli masyarakat.
“Mereka yang masuk dalam kategori kelas menengah tanggung, bisa jadi orang miskin baru akibat kebijakan pajak yang agresif,” katanya, dikutip pada Jumat (25/3/2022).
Disampaikannya, bagi masyarakat kelas menengah, apabila ada kenaikan PPN, itu berarti mereka harus melakukan penghematan untuk belanja-belanja yang tidak mendesak.
“Mereka juga akan mencari produk yang jauh lebih terjangkau harganya meskipun harus mengorbankan kualitas ataupun kuantitas dari produk itu,” sebutnya.
Sementara itu, ditilik dari sisi produsen barang, imbuhnya, kemungkinan mereka bakal menaikkan harga barang lebih dari 1% lantaran tertekan biaya produksi sejak pandemi.
“Jadi, di sini, produsen memanfaatkan momentum ini sehingga dampak psikologis harus dimitigasi karena kenaikannya bisa lebih dari 1 persen sebenarnya secara riil di masyarakat,” paparnya.
Dalam pengamatannya juga, secara psikologis, produsen telah mengalami tekanan biaya produksi sejak akhir 2021 sehingga mereka memanfaatkan situasi kenaikan PPN untuk menyesuaikan harga di level konsumen.
“Dengan demikian, mereka bisa mempertahankan margin keuntungannya. Apalagi berkaitan dengan momentum Ramadan, dimana permintaan biasanya naik tinggi,” jelasnya.
Diterangkannya lagi, terkait PPN ini, itu artinya kenaikan akan berdampak terhadap seluruh barang, kecuali beras atau sejumlah kebutuhan pokok lainnya.
“Yang lainnya, misalkan kendaraan bermotor, restoran, bahkan iklan di sosial media dan gadget, itu semua PPN-nya naik dari 10 persen menjadi 11 persen,” urainya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN tersebut ditujukan untuk menciptakan sebuah rezim pajak yang adil sekaligus dalam waktu yang sama juga membuat rezim pajak Indonesia yang kuat.
“Memangnya kami butuh pajak yang kuat untuk nyusahin rakyat? Enggak. Karena pajak itu untuk membangun rakyat juga, mulai bangun sekolah, rumah sakit, infrastruktur, bahkan listrik, LPG, itu semuanya ada elemen subsidinya,” katanya dalam Economy Outlook 2022 CNBC Indonesia, Selasa (22/3/2022) lalu.
Ditegaskannya juga, alokasi penerimaan negara dari pajak bukan hanya untuk infrastruktur semacam jalan tol, melainkan juga dikerahkan sebesar-besarnya untuk kebutuhan masyarakat, tidak terkecuali subsidi energi untuk listrik dan LPG yang memerlukan biaya luar biasa.
Ia memaparkan, aspek keadilan dari kenaikan PPN itu pun dipertimbangkan. Di lain sisi, masih ada ruang yang luas bagi PPN di Indonesia dinaikkan, imbuhnya, sebab rata-rata tarif di negara lain jauh lebih besar, yakni 15 persen.
“Indonesia kami naikkan 11 persen dan nanti 12 persen pada 2025. Kenapa dilakukan? Kami lihat APBN works extremely hard di pandemi ini. Kami ingin menyehatkan, jadi kami lihat mana yang masih ada space-nya agar setara dengan negara lain, tapi Indonesia tidak berlebihan,” tandasnya.
Penulis: Kontributor/Boy Riza Utama
Admin: Panji A Syuhada