JAKARTA, duniafintech.com – CEO Indodax Oscar Darmawan merespons rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) untuk aset kripto. Dia berharap, pungutan pajak kripto tersebut tidak membebani investor.
Sebagai pelaku usaha, dia merespons baik kebijakan Kementerian Keuangan yang ingin mengenakan pajak terhadap aset kripto. Sebab, dengan begitu aset kripto telah diakui secara hukum negara untuk diperjualbelikan.
“Adanya pengenaan pajak tentu akan menambah legalitas dari aset kripto itu sendiri sehingga menandakan kripto sudah menjadi aset atau komoditas yang sah di mata hukum negara untuk diperjualbelikan jadi ini suatu hal yang sangat positif,” katanya kepada wartawan, Kamis (7/4).
Namun dia berharap besaran masing-masing pajak tersebut jangan terlalu besar. Dia mengusulkan agar pengenaan pajak hanya sebesar 0.05% untuk PPN dan 0.05% untuk PPH sehingga total pajak yang dikenakan di industri totalnya cukup 0.1%.
Dia meminta agar pengenaan pajak terhadap aset kripto disamakan dengan pengenaan pajak terhadap perdagangan saham. Di mana, pungutan total pajak 0ada perdagangan saham hanya dikenakan sebesar 0,1%.
“Saya berharapnya besaran pajak untuk kripto pun disamakan atau bahkan dikurangi karena bentuk perdagangan saham dan kripto ini memiliki pola perdagangan yang sama,” ujarnya.
Adapun, menurutnya kondisi sekarang, untuk pajak kripto rencananya akan memungut PPN dan PPH dengan total 0.2%. Di lain sisi, investor juga sudah dibebankan fee exchange yang memungut 0.3%.
“Jadi, kalau ditambah dengan PPN dan PPH dengan ketentuan sekarang, konsumen akan kena fee hampir dua kali lipat dari sekarang,” ucap CEO Indodax, Oscar Darmawan.
Dia pun mewanti-wanti, apabila besaran pajak yang dikenakan terlalu besar dikhawatirkan konsumen akan merasa sangat keberatan. Akibatnya, para konsumen tidak tertarik dengan industri kripto dalam negeri dan justru malah lari ke pasar luar negeri.
“Hal Ini tentu sangat amat disayangkan mengingat tingginya tren investasi kripto memberikan peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia kalau terus bertumbuh,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.
Aturan tersebut memuat ketentuan terkait Penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang ditugaskan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terutang atas penyerahan aset kripto.
PMSE adalah pohak penyelenggara yang melakukan kegiatan pelayanan untuk memfasilitasi transaksi aset kripto, termasuk perusahaan dompet elektronik (e-wallet).
Dalam PMK tersebut diatur besaran tarif PPN untuk transaksi kripto yang ditetapkan PMK 68/2022 adalah 1% dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto, untuk pedagang fisik aset kripto.
Sedangkan, untuk bukan pedagang fisik dikenakan pajak 2% dari tarif PPN dikali dengan nilai transaksi aset kripto.
PMK tersebut juga mengatur pengenaan PPh terhadap penjual aset kripto, penyelenggara PMSE, dan penambang aset kripto. Penghasilan yang diterima atas aktivitas tersebut jugaย merupakan objek PPh, sehingga dikenakan pajak.
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1% dari nilai transaksi aset kripto, tidak termasuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Sementara itu, dalam hal penyelenggara PMSE bukan merupakan pedagang fisik aset kripto, tarif PPh Pasal 22 adalah 0,2%. Seluruh tarif itu bersifat final.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Rahmat Fitranto