26.7 C
Jakarta
Jumat, 15 November, 2024

Strategi Jemput Bola, Fintech P2P Lending Andalkan Sektor Produktif

JAKARTA, duniafintech.com – Strategi jemput bola atau langsung ke konsumen dilakukan oleh sektor peer-to-peer (fintech P2P) lending. Dalam hal ini, fintech P2P lending diketahui akan mengandalkan sektor produktif.

Mengacu pada statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait industri teknologi finansial pendanaan bersama ini, utang di industri tersebut sudah menembus angka Rp29,12 triliun. Sementara itu, jumlah outstanding pinjaman ini menjadi capaian per November 2021.

Rinciannya, sebesar Rp24,3 triliun dipegang oleh 20,8 entitas peminjam (borrower) perorangan, sementara Rp4,82 triliun oleh sebanyak 3.116 entitas peminjam badan usaha.  Ditilik dari sisi penyaluran pinjaman baru, utamanya November 2021, industri yang diramaikan oleh 104 pemain ini tercatat menyalurkan Rp12,97 triliun kepada 12,6 juta entitas borrower.

Dari jumlah itu, sebanyak 63,2 persen di antaranya alias Rp8,2 triliun dipakai untuk kegiatan produktif yang notabene untuk para UMKM. Hasilnya, secara kumulatif, jumlah penyaluran pinjaman industri sepanjang tahun 2021 sudah menembus angka Rp142,36 triliun.

Nilai itu berkemungkinan besar bakal menembus target Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebesar Rp150 triliun jika ditambah dengan kinerja sepanjang Desember 2021 lalu.

Menurut Direktur Eksekutif AFPI, Kuseryansyah, proyeksi penyaluran pinjaman industri di tahun 2022 ini paling tidak tumbuh 50 persen atau merealisasikan disbursement menyentuh Rp220 triliun pada akhir tahun ini.

Proyeksi ini memungkinkan, sambungnya, utamanya lantaran setiap pemain dipastikan semakin gencar melakukan strategi “jemput bola” atau dengan mengintegrasikan dirinya ke berbagai ekosistem digital untuk mengakomodasi UMKM di dalamnya.

“Kami yakin masih ada puluhan juta UMKM yang belum tersentuh layanan pinjaman produktif. Oleh sebab itu, setiap platform P2P lending pasti akan mencoba masuk lebih dalam ke berbagai ekosistem digital buat menjangkau mereka,” sebutnya, seperti dilangsir dari Bisnis.com, Selasa (11/1).

Strategi “jemput bola” itu juga yang menjadi pembeda industri fintech P2P lending dengan lembaga keuangan lain yang sama-sama bergerak di bidang pembiayaan produktif untuk UMKM.

Fleksibilitas itulah yang memungkinkan UMKM yang masih belia, masih berbentuk usaha milik perorangan, dalam tahap awal, dan masih berkembang, dapat memperoleh akses permodalan dengan mudah, khususnya yang masih memerlukan pinjaman bernilai kecil dengan tenor singkat.

Dalam pandangan AFPI, pinjaman untuk UMKM bahkan tidak terbatas hanya dari pemain di klaster produktif. Pasalnya, sekitar 30 persen borrower fintech P2P klaster multiguna juga tergolong UMKM, yang sejatinya memakai pinjaman dana tunai yang diterimanya untuk aktivitas produktif, misalnya saja membeli bahan baku atau membeli peralatan pendukung usaha.

Akan tetapi, syaratnya adalah UMKM terkait itu sudah masuk ke dalam ekosistem digital tertentu semacam e-commerce atau e-procurement dan setidaknya sudah melek layanan digital, misalnya menggunakan kasir digital, aplikasi pembukuan arus kas, atau rajin bertransaksi menggunakan alat pembayaran non-tunai.

“Beda dengan bank yang mensyaratkan pelaku usaha yang mau mengakses permodalan itu harus punya aset, sudah menembus keuntungan tertentu, atau usahanya sudah berumur 3 tahunan. Kami selaku fintech P2P lending bisa hanya berbasis kondisi cash-flow pelaku usaha. Kami lebih memudahkan mereka asalkan dalam penilaian kami masih masuk dalam profil risiko terukur,” tutupnya.

 

Penulis: Kontributor / Boy Riza Utama

Editor: Anju Mahendra

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU