32.1 C
Jakarta
Minggu, 19 Mei, 2024

Tanggulangi Scarring Effect, Ini Langkah yang Ditempuh KSSK

JAKARTA, duniafintech.com – Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) menempuh berbagai kebijakan untuk menanggulangi dampak memar atau scarring effect dari pandemi Covid-19 terhadap perekonomian negara.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan, kebijakan makroprudensial akomodatif ini akan diperkuat untuk mendorong pertumbuhan kredit atau pembiayaan kepada sektor prioritas dan pembiayaan inklusif.

“Kebijakan ini diambil dalam rangka mengatasi scarring effect dan mendorong pemulihan pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan,” katanya dalam video conference, Rabu (2/2).

Adapun langkah-langkah kebijakan makroprudensial tersebut mencakup, pertama, memberikan insentif bagi bank-bank yang menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada sektor prioritas.

Selain itu, insentif tersebut juga akan diberikam kepada bank yang menyalurkan pembiayaan yang inklusif atau kepada bank-bank yang memenuhi target Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) berupa pengurangan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) harian sampai dengan sebesar 100 bps, yang mulai berlaku 1 Maret 2022.

Kedua, BI juga akan Melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif dengan mempertahankan rasio Countercyclical Capital Buffer (CCyB) atau tambahan modal penyangga bank sebesar 0%.

Selain itu, BI pun akan tetap menjaga rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) pada kisaran 84%-94% dengan parameter disinsentif batas bawah sebesar 84% sejak 1 Januari 2022.

Pun, BI akan tetap mematok rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 6% dengan fleksibilitas repo sebesar 6% dan rasio PLM Syariah sebesar 4,5% dengan fleksibilitas repo sebesar 4,5%.

“Ketiga, BI akan memperkuat kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK),” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pihaknya bersama dengan berbagai lembaga negara telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengurangi dampak scarring effect.

Dia menjelaskan, BI misalnya telah menempuh kebijakan suku bunga rendah, stabilisasi nilai tukar rupiah, dan injeksi likuiditas atau quantitative easing. Sedangkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan.

Serta Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) menetapkan tingkat bunga penjaminan yang rendah dan memberikan relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi penjaminan perbankan. 

“Sinergi kebijakan di dalam KSSK ditujukan untuk mengupayakan terbentuknya tingkat suku bunga di sektor jasa keuangan yang lebih efisien,” ucapnya.

Adapun, lewat berbagai kebijakan tersebut pemulihan ekonomi telah terjadi di semua sektor dan semakin merata, meskipun kecepatan pemulihannya masih sangat bergantung pada jenis aktivitas usaha dan dampak pandemi pada sektor terkait.

Bendahara negara tersebut memaparkan, kebijakan yang diberikan untuk sektor tertentu seperti properti dan otomotif juga memberikan dampak yang positif bagi kedua sektor.

Insentif PPN untuk perumahan yang diberikan pemerintah, diperkuat dengan kebijakan BI dalam pelonggaran rasio Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) dengan kredit properti menjadi paling tinggi 100% untuk bank yang memenuhi NPL/NPF tertentu, serta pelonggaran aset tertimbang menurut risiko (ATMR), ketentuan tarif premi asuransi, dan uang muka perusahaan pembiayaan dari OJK mampu mendorong realisasi kredit properti hingga Rp465,55 triliun per Desember 2021.

Sedangkan, untuk sektor otomotif, insentif PPnBM kendaraan bermotor dari Kemenkeu, yang dikolaborasikan dengan pelonggaran ATMR dan uang muka perusahaan pembiayaan oleh OJK serta pelonggaran uang muka kredit oleh BI turut mendorong realisasi kredit kendaraan bermotor hingga Rp97,45 triliun per Desember 2021.

“Capaian ini sejalan dengan peningkatan penjualan mobil di 2021 ke level 863,3 ribu dibandingkan penjualan 578,3 ribu pada 2021,” tuturnya.

Hanya saja menurutnya masih terdapat berbagai potensi risiko yang mesti diwaspadai, baik dari sisi domestik maupun global. Potensi risiko dari sisi domestik terutama terkait kenaikan kasus Covid-19 dan risiko global antara lain gangguan rantai pasok di tengah kenaikan permintaan yang mendorong peningkatan tekanan inflasi terutama akibat kenaikan harga energi.

“Serta berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global sejalan dengan percepatan kebijakan normalisasi the Fed dalam merespons tekanan inflasi AS yang meningkat menjadi 7% di 2021, dan peningkatan tensi geopolitik di kawasan Baltik,” terangnya.

 

 

 

Penulis: Nanda Aria

Editor: Anju Mahendra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Iklan

ARTIKEL TERBARU