JAKARTA, 26 Desember 2024 – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengampunan Pajak resmi dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Dengan ini, wacana penerapan kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III mulai mencuat. Namun, muncul berbagai pertanyaan di masyarakat: siapa yang mengusulkan RUU ini? Apakah program ini demi kepentingan negara atau hanya menguntungkan pihak tertentu?
Asal Usulan RUU Tax Amnesty
Usulan RUU ini pertama kali mencuat dalam rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah dan DPD pada Senin, 18 November 2024. Dalam rapat tersebut, Baleg DPR tercatat sebagai pengusul. Namun, Komisi XI DPRโyang menangani isu keuangan negaraโkemudian mengajukan permohonan kepada Baleg untuk mengambil alih usulan ini.
Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun, mengaku tidak mengetahui siapa pengusul awalnya. “Cek ke Baleg,” ujarnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Ketua Baleg DPR Bob Hasan menyebut RUU ini sudah ada dalam daftar panjang Prolegnas sejak DPR periode sebelumnya.
“Kami hanya melanjutkan daftar yang sudah ada,” jelas Bob.
Menurut Bob, fokus utama adalah manfaat dari beleid ini, bukan asal usulnya. Ia menegaskan bahwa pemerintah saat ini membutuhkan dana besar untuk melaksanakan program-program strategis seperti penyediaan makanan bergizi gratis dan renovasi sekolah.
Dalam pandangannya, tax amnesty dapat menjadi solusi instan untuk mendapatkan pemasukan tambahan dari para wajib pajak yang selama ini belum sepenuhnya melaporkan harta mereka.
Sejarah dan Tujuan Tax Amnesty
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah telah dua kali menjalankan kebijakan tax amnesty:
- Jilid I (18 Juli 2016 โ 31 Maret 2017).
- Jilid II (1 Januari โ 30 Juni 2022) melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Prianto Budi Saptono, menilai kebijakan ini tidak muncul begitu saja. Ia menyebut ada dorongan kuat dari fenomena penghindaran pajak di sektor perkebunan dan upaya pemerintah untuk mengejar shadow economy. Menurutnya, ada dua cara untuk menindak pelaku penghindaran pajak:
- Penegakan hukum, baik secara administratif maupun pidana.
- Kebijakan tax amnesty sebagai langkah lebih sederhana tanpa risiko perlawanan hukum.
“Meski secara teori tax amnesty idealnya dilakukan sekali dalam satu generasi wajib pajak, realitanya kebijakan ini sering kali diulang di banyak negara saat pemerintah membutuhkan dana tambahan secara cepat,” jelas Prianto.
Pandangan Kritis: Dampak terhadap Rasa Keadilan
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyampaikan pandangan berbeda. Ia menganggap tax amnesty jilid III tidak mendesak dan berpotensi merusak rasa keadilan. “Wajib pajak yang patuh bisa merasa dirugikan, sementara mereka yang menghindari pajak justru mendapat pengampunan,” ujarnya.
Fajry juga menyoroti bahwa kebijakan ini dapat mendorong lebih banyak pelanggaran pajak di masa depan. “Orang akan berpikir, buat apa patuh kalau nanti ada pengampunan lagi?”
Selain itu, ia mengkritik kebijakan ini yang muncul bersamaan dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Hal ini dapat memicu resistensi dari berbagai pihak.
Sudut Pandang Pengusaha
Kalangan pengusaha, seperti yang diwakili oleh Ajib Hamdani dari Apindo, melihat tax amnesty sebagai langkah praktis untuk meningkatkan penerimaan negara meski kurang ideal. Ia menilai kebijakan ini berpotensi menciptakan ketidakadilan, terutama bagi wajib pajak patuh.
Namun, Ajib mengakui bahwa tax amnesty dapat memberikan dampak positif, seperti meningkatkan pemasukan negara melalui deklarasi harta yang selama ini tidak tercatat. Selain itu, kebijakan ini juga diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai target 8%.
“Fungsi pajak bukan hanya sebagai sumber keuangan negara (budgetair), tetapi juga sebagai alat pengatur ekonomi (regulerend). Tax amnesty dapat menggabungkan keduanya untuk kepentingan nasional,” tutupnya.
RUU Tax Amnesty jilid III menjadi isu strategis sekaligus kontroversial. Di satu sisi, kebijakan ini menawarkan potensi pendapatan besar bagi pemerintah untuk mendukung program pembangunan. Namun, di sisi lain, wacana ini memicu perdebatan terkait keadilan dan urgensi penerapannya. Apakah kebijakan ini akan membawa manfaat yang seimbang bagi semua pihak? Hanya waktu yang akan menjawab.