33.9 C
Jakarta
Minggu, 10 November, 2024

Nih, Dengar Saran Bu Sri Mulyani soal Warisan dari Mertua yang Ternyata Tetap Ada Pajaknya

JAKARTA, duniafintech.com – Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, punya saran untuk orang-orang yang mendapat warisan, tetapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak tahun perolehan. Adapun saran dari perempuan yang akrab disapa Ani itu adalah dengan mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS) pada tahun depan.

Lebih dikenal dengan program pengampunan pajak (tax amnesty), PPS pada tahun depan akan berlangsung mulai tanggal 1 Januari 2022 sampai 1 Juni 2022. Diketahui, pengungkapan harta dalam program ini dapat bervariasi, di antaranya warisan dari mertua atau hibah dari seseorang.

“Kalau Anda masih punya harta warisan diberikan dari mertua atau hibah entah dari hamba Allah, tapi belum disampaikan dalam SPT Anda, ini kesempatan Anda melakukan,” ucapnya seperti dikutip dari tayangan Youtube Sosialisasi UU HPP, Senin (20/12).

Apabila harta warisan itu dimiliki sebelum Desember 2015, imbuhnya, terdapat tiga ketentuan tarif yang berlaku. Kalau harta warisan itu berada di luar negeri, tarif pajak penghasilan (PPh) final yang harus dibayar sebesar 11 persen. Di sisi lain, apabila harta itu direpatriasi ke dalam negeri, tarifnya akan menjadi lebih rendah, yaitu 8 persen.

“Kalau hartanya di dalam negeri, katakanlah dapat rumah dari mertua atau warisan dan belum disampaikan, rate adalah 6 persen. Ini berlaku hanya 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022,” papar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Sementara itu, untuk harta yang diperoleh sejak tahun 2016 dan belum dilaporkan dalam SPT, kata dia lagi, tarifnya akan lebih tinggi. Kalau harta itu di luar negeri, tarif PPh final yang perlu dibayar sebesar 18 persen. Apabila harta itu direpatriasi, tarifnya menjadi 14 persen. Kalau harta tersebut berada di dalam negeri, kemudian diinvestasikan ke dalam SBN, tarif PPh finalnya adalah 12 persen.

“Jika masih ada yang belum disampaikan, ini kami berikan kesempatan 6 bulan 1 Januari—30 Juni 2022,” jelasnya.

Ia pun menambahkan, akan ada sanksi yang menunggu apabila seseorang tidak mengikuti PPS nanti. Untuk besaran sanksinya disamakan dengan sanksi tax amnesty tahun 2016 lalu, yaitu sebesar 200 persen. Sanksi ini pun tertuang dalam Pasal 18 ayat 3 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Adapun sanksi tersebut akan dijatuhkan saat Ditjen Pajak menemukan harta wajib pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) setelah mengikuti PPS. Atas tambahan harta ini, selanjutnya akan dikenai pajak penghasilan (PPh) sesuai dengan Pasal 4 PP 36/2017.

Diketahui, tarif PPh yang mesti dibayar oleh wajib pajak badan sebesar 25 persen, wajib pajak orang pribadi sebesar 30 persen, dan wajib pajak tertentu sebesar 12,5 persen. Rumusan sanksinya, yakni tarif PP 36/2017 x nilai harta baru + sanksi UU TA 200 persen.

“Jadi sanksinya cukup tajam. Capek dong? Jadi, mendingan ikut saja sekarang. Jauh lebih ringan dibanding sanksi 200 persen,” imbaunya.

Dua kebijakan PPS pada tahun 2022

  1. Kebijakan I

Peserta program pengampunan pajak tahun 2016 untuk orang pribadi dan badan dapat mengungkapkan harta bersih yang belum dilaporkan pada saat program pengampunan pajak, dengan membayar PPh Final sebesar:

  1. 11 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
  2. 8 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
  3. 6 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.

2. Kebijakan II

Wajib pajak orang pribadi peserta program pengampunan pajak maupun non peserta dapat mengungkapkan harta bersih yang berasal dari penghasilan tahun 2016 sampai tahun 2020, namun belum dilaporkan pada SPT tahun 2020, membayar PPh final sebagai berikut.

  1. 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
  2. 14 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri.
  3. 12 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi SDA dan energi terbarukan.

 

Penulis: Kontributor

Editor: Anju Mahendra

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU