JAKARTA, duniafintech.com – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memastikan fintech pendanaan legal hanya dapat memiliki akses data peminjam berupa CAMILAN (Camera, Mikrofon dan Location) kepada para nasabah pinjaman online.
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah mengatakan untuk memperkuat industri fintech pendanaan di tanah air, pelaku industri telah melakukan berbagai langkah termasuk menyesuaikan aturan-aturan di AFPI. Di antaranya, seluruh penyelenggara fintech pendanaan legal atau anggota AFPI hanya boleh mengakses data peminjam berupa CAMILAN (camera, mikrofon, dan location).
“Jika ada yang melebihi akses CAMILAN ini, berarti pinjol illegal,” kata Kuseryansyah.
Selain itu, Kuseryansyah mengungkapkan saat ini AFPI tengah mengembangkan teknologi Fintech Data Center (FDC). Sebanyak 102 perusahan platform Peer to Peer (P2P) Lending saat memproses nasabah yang ingin meminjam akan mengirimkan datanya ke FDC. Kemudian FDC akan mendeteksi peminjam berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
“FDC ini mampu mendeteksi rekayasa NIK dan KTP peminjam. Ternyata namanya dan wajahnya berbeda. Jadi bisa mencegah terjadinya fraud,” kata Kuseryansyah di Jakarta, Jumat (22/7).
Kuseryansyah menambahkan kelebihan dari FDC yaitu mampu melihat jejak peminjam dari kualitas performa pembayaran yang sudah dilakukan. Berdasarkan regulasi, peminjam hanya diperbolehkan menggunakan aplikasi P2P Lending maksimum 6 pinjaman. FDC ini juga bisa menyediakan layanan pendukung untuk melakukan jejak pengguna seperti aksesbilitas ke biometric lembaga Dukcapil dan data internal P2P Lending.
Artinya, teknologi ini dapat mendeteksi atau mencegah calon peminjam mengajukan pinjaman di beberapa platform secara bersamaan. Sehingga platform fintech pendanaan dapat berpikir untuk menyetujui permohonan dari peminjam yang memiliki catatan pembayaran pinjaman yang tidak baik.
“FDC ini banyak membantu. Tapi kita tidak boleh mengakses galeri atau picture handphone peminjam,” ujarnya.
Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno menilai dengan banyaknya fasilitas pinjaman mulai dari pinjaman online hingga PayLater tentunya masyarakat diuntungkan karena memiliki banyak akses di berbagai macam pendanaan. Namun terkadang karena banyaknya Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang memberikan akses kemudahan memiinjam, membuat masyarakat menjadi ceroboh karena tidak mempelajari ketentuan-ketentuan dalam melakukan peminjaman.
Baca juga: AFPI Tidak Ragu Menaikan Suku Bunga Pinjaman, Jika BI Naikan Suku Bunga Acuan
โHarus dilihat secara kompherensif bahwa dengan banyak penyedia pinjaman tentunya menguntungkan memiliki akses berbagai macam pendanaan,โ kata Hendrawan kepada duniafintech.com.
Menurutnya LJK juga harus memberikan mekanisme perjanjian pinjam meminjam yang dapat diatur secara rinci, sehingga masyarakat terdukasi dan menambah literasi keuangan. Termasuk mekanisme pengaturan beban bunga yang ditanggung konsumen juga diinformasikan, agar masyarakat tidak menjadi korban dari beberapa fasilitas peminjaman dari LJK.
Baca juga:ย Panduan Cara Bayar Tagihan DANA PayLater di BRI, dari ATM hingga BRImo
Oleh karena itu, Hendrawan meminta kepada OJK untuk memiliki Biro Hukum yang menangani korban-korban masyarakat dari LJK yang memiliki fasilitas pinjaman online maupun PayLater. Langkah tersebut dilakukan agar dalam setiap kasus dapat berdiri tegak untuk kepentingan umum.
โJadi masyarkaat juga harus cerdas. Kalau tidak cerdas cenderung menjadi korban,โ kata Hendrawan.
Baca juga:ย Investasi Syariah Jadi Investasi yang Menguntungkan, Begini Simulasi Perhitungan & Jenisnya
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com.
Penulis: Heronimus Ronito