30 C
Jakarta
Sabtu, 23 November, 2024

Berita Ekonomi Hari Ini: Utang Pemerintah Capai Rp 7.805 Triliun, Jumlahnya Naik!

JAKARTA, duniafintech.com – Berita ekonomi hari ini terkait posisi utang pemerintah hingga 30 Juni 2023 yang mencapai Rp 7.805,19 triliun. 

Diketahui, jumlah itu naik Rp 17,68 triliun dari posisi utang bulan sebelumnya yang sebesar Rp 7.787,51 triliun.

Berikut ini berita ekonomi hari ini selengkapnya, seperti dikutip dari detikcom, Jumat (28/7/2023).

Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Begini Kata OJK Terkait Kenaikan Kredit Macet Fintech Lending

Berita Ekonomi Hari Ini: Rasio Utang terhadap PDB Naik

Tingkatan utang itu membuat rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) per Juni 2023 menjadi 37,93%, naik dari bulan sebelumnya yang di level 37,85%. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut tingkatan itu masih dalam batasan aman.

“Rasio utang pemerintah terhadap PDB per akhir Juni 2023 berada di batas aman (jauh di bawah 60% PDB) sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan masih sesuai dengan yang ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2023-2026 di kisaran 40%,” tulis Kemenkeu dalam Buku APBN KiTA.

Utang pemerintah terdiri atas dua jenis yakni berbentuk surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Mayoritas utang pemerintah didominasi oleh instrumen SBN yakni Rp 6.950,10 triliun atau 89,04% dan sisanya pinjaman Rp 855,09 triliun atau 10,96%.

“Pemerintah melakukan pengelolaan utang secara baik dengan risiko yang terkendali, antara lain melalui komposisi yang optimal, baik terkait mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo,” tuturnya.

Indodax

Penggunaan Utang Pemerintah

Kemenkeu memastikan utang pemerintah digunakan untuk kegiatan yang sifatnya produktif. Secara umumnya digunakan untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta kegiatan proyek yang langsung dibiayai dari utang (earmark).

“Setiap rupiah utang yang dilakukan pemerintah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang,” jelas Kemenkeu.

Hal itu tercermin dari meningkatnya belanja yang sifatnya produktif dari tahun ke tahun seperti belanja infrastruktur naik 265% dari 2014 Rp 154,7 triliun menjadi Rp 410,7 triliun pada 2018, bahkan di 2019 naik lagi menjadi Rp 415 triliun. Begitu juga untuk belanja pendidikan meningkat 226% dari Rp 353,4 triliun di 2015 menjadi Rp 444,1 triliun di 2018 dan Rp 492,5 triliun di 2019.

Belanja untuk kesehatan juga demikian, naik 186% dari Rp 59,7 triliun di 2015 menjadi Rp 111 triliun di 2018 dan naik lagi menjadi Rp 160 triliun di 2019. “Hal ini menunjukkan bahwa utang pemerintah melalui pembiayaan defisit digunakan dengan efisien untuk kesejahteraan rakyat,” jelasnya.

Pembiayaan utang diambil pemerintah untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di saat pertumbuhan sedang turun seperti saat pandemi COVID-19. Utang salah satunya dimanfaatkan untuk tambahan belanja membiayai pembangunan, yang kebutuhannya dinilai harus segera diwujudkan tanpa ada penundaan.

“Jadi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini dan yang akan datang secara perhitungan ekonomis adalah manfaat yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sharing beban yang ditanggung,” imbuhnya.

Kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda seperti penyediaan fasilitas kesehatan, pembangunan infrastruktur, dan ketahanan pangan. Penundaan pembiayaan justru disebut akan mengakibatkan biaya/kerugian yang lebih besar di masa mendatang.

“Jadi pemerintah tetap harus membayar biaya-biaya kebutuhan tersebut walau pendapatan kita terbatas. Utang menjadi alat untuk membayar kekurangan biaya-biaya tersebut,” jelasnya.

Proyek-proyek yang dibiayai melalui utang antara lain MRT Jakarta melalui pinjaman luar negeri JICA dengan jumlah pinjaman untuk fase I sebesar 125,2 miliar yen, Waduk Jatigede melalui pinjaman luar negeri dari China sebesar US$ 332,6 juta dan Jalur KA (Double Track) Cirebon-Kroya yang dibiayai melalui SBSN sebesar Rp 800 miliar.

Berita Ekonomi Hari Ini: Kadin Dukung BI Tahan Suku Bunga, Ini Sektor yang Sangat Terbantu

Sebelumnya, dikutip dari Bisnis.com, keputusan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan 5,75 persen mendapat dukungan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Menurut Ketua Umum Kadin, Arsjad Rasjid, inflasi yang rendah dengan suku bunga yang tetap akan bermanfaat mengurangi beban di dunia usaha. 

Kondisi tersebut dinilai dapat mendongkrak konsumsi di masyarakat. Sektor usaha perumahan, industri kendaraan, hingga pariwisata akan sangat terbantu dengan ketetapan Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan 5,75 persen selama tujuh bulan berturut-turut. 

Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Fintech Lending Axiata, Boost, Dorong Pertumbuhan UMKM di Indonesia

Berita Ekonomi Hari Ini

“Karena ada kepastian suku bunga tidak meningkat,” ujar Arsjad saat dihubungi, Selasa (25/7/2023). 

Selain memberikan kepastian suku bunga yang stagnan, pengusaha melihat kebijakan Perry Warjiyo dan jajarannya bakal berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah. 

Hal itu dianggap menguntungkan para industri yang membutuhkan bahan baku impor. 

“Kami semua tahu bahwa lebih dari 70 persen impor Indonesia berupa bahan baku industri,” tuturnya. 

Di sisi lain, Kadin berharap konsistensi BI untuk mempertahankan suku bunga acuan tersebut dapat memberikan dampak terhadap suku bunga kredit perbankan secepatnya. 

Para pengusaha menunggu-nunggu suku bunga kredit perbankan bisa turun. “Ini diperlukan untuk mengurangi beban bunga dunia usaha,” imbuhnya. 

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia hari ini membeberkan alasan mereka mempertahankan suku bunga acuan 5,75 persen selama tujuh bulan berturut-turut. 

Menurutnya, keputusan tersebut telah konsisten dengan kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap terkendali dalam kisaran 3 +/- 1 persen di tahun 2023 dan 2,5 +/- 1 persen pada 2024. 

Kebijakan moneter diarahkan pada penguatan stabilitas nilai rupiah, terutama untuk mengendalikan inflasi barang impor. 

Adapun insentif likuiditas makroprudensial diperkuat untuk mendorong kredit atau pembiayaan dengan fokus hilirisasi, perumahan, pariwisata dan pembiayaan inklusif dan hijau.

Selain itu, Perry menyebut upaya digitalisasi sistem pembayaran juga didorong untuk perluasan inklusi ekonomi dan keuangan digital. 

“Bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran Bank Indonesia tersebut terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” kata Perry.

Baca juga: Berita Ekonomi Hari Ini: Kadin Dukung BI Tahan Suku Bunga, Ini Sektor yang Sangat Terbantu

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU