JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia kali ini mengulas tentang kemudahan mengakses jasa keuangan melalui fintech akan menyebabkan beberapa risiko apabila belum diiringi dengan tingkat pengetahuan yang memadai. Satgas Waspada Investasi (SWI) melaporkan bahwa total kerugian dari investasi bodong selama 10 tahun terakhir mencapai Rp.117,5 triliun dan hingga Mei 2022 sekitar 1,120 platform investasi ilegal telah diblokir.
Fenomena tersebut menjadi fokus dari diskusi publik โTransformasi Digital sebagai Pendorong Pertumbuhan Literasi Keuangan” yang diadakan Badan Pengembangan Keuangan Digital KADIN Indonesia (KADIN BPKD) sebagai bagian dari inisiatif Wakil Kepala Badan II Koordinator Pengembangan Inovasi Layanan Keuangan Digital II & Edukasi Literasi KADIN. Diskusi ini bertujuan mengungkap upaya peningkatan literasi keuangan dari perspektif regulator, pelaku usaha, dan masyarakat.
Kepala KADIN BPKD, Pandu Sjahrir berharap bahwa diskusi ini dapat mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk membangun kepercayaan publik terhadap sektor fintech yang tumbuh pesat dalam empat tahun terakhir.
“Saya suka menggunakan analogi fintech sebagai ‘bayi ajaib’ melihat pertumbuhan industri saat ini sangat pesat pada usia yang masih dini. Namun, kita harus mengejar pertumbuhan itu, karena pertumbuhan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan yang telah memperluas akses jasa keuangan digital ini belum diimbangi oleh tingkat literasi keuangan yang baik di masyarakat. Jadi saat kita melalui tahap awal ini, fintech membutuhkan bantuan dari semua pemangku kepentingan untuk berkolaborasi dan memastikan ekosistem layanan keuangan digital yang sehat, inklusif, dan dapat dipercaya. Semakin banyak masyarakat yang memiliki pemahaman yang baik tentang jasa keuangan digital, tingkat kepercayaan publik terhadap layanan ini juga akan semakin tinggi,” ujar Pandu.
“KADIN BPKD mendorong para pelaku usaha untuk membangun dan memperkuat kepercayaan publik lewat sinergi dengan pemangku kepentingan di sektor layanan keuangan digital dalam menggagas upaya literasi keuangan yang konsisten bagi masyarakat,” tambah Pandu.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Mengulik Apa Itu Fintech Aggregator
Kesenjangan antara tingkat inklusi dan literasi ini pun menjadi celah yang rentan dimanfaatkan pelaku penipuan berkedok investasi. Berdasarkan survei OJK tahun 2019, tingkat literasi keuangan masih berada di angka 38,03% meskipun tingkat inklusi keuangan sudah mencapai 76,19%. Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah berpartisipasi dalam sektor keuangan belum benar-benar memahami produk dan jasa keuangan yang digunakan.
Chief of Special Projects Pluang, Ronny Hutahayan menjelaskan bahwa, “Tersedianya konten literasi keuangan di platform digital berpotensi membantu para investor ritel mengambil keputusan investasi.”
Berdasarkan studi yang Pluang lakukan bersama Center for Economic and Law Studies (CELIOS) tentang Dampak Aplikasi Multi-Aset terhadap Pertumbuhan Investor Ritel, yang dilakukan terhadap 3.530 responden studi dengan mayoritas usia 18-35 tahun. Investor-investor muda ini tidak memiliki waktu yang banyak untuk membuat keputusan investasi. Hampir setengah dari responden kami menghabiskan kurang dari 2 jam untuk membuat keputusan investasi. Hal ini semakin menekankan betapa pentingnya ketersediaan akses pada informasi keuangan yang terintegrasi sehingga dapat memfasilitasi proses pengambilan keputusan investasi para investor muda ini.
Selain itu, hasil survei yang dilakukan dalam studi ini menunjukan bahwa kemungkinan besar investor yang mengandalkan aplikasi keuangan digital merupakan investor pemula dengan modal relatif kecil, bukan investor berpengalaman dengan modal yang besar.
“Kami mengamati bahwa dari 94% responden memiliki pendapatan sampai dengan Rp10 juta rupiah dan sebanyak 57% lainnya berpenghasilan dibawah Rp5 juta. Bagi kami di Pluang, menyediakan dan mempermudah akses edukasi kepada investor ritel merupakan bukti konkrit kami dalam mewujudkan visi Pluang untuk mendemokratisasi akses investasi di berbagai kelas aset kepada seluruh lapisan masyarakat. Harapannya, perilaku investasi yang bijak bisa menjadi sebuah budaya di masyarakat Indonesia.” ujar Ronny.
Upaya peningkatan literasi keuangan secara masif membutuhkan sinergi antar kementerian dan lembaga, maupun antara pemerintah dengan pelaku usaha dan masyarakat. Salah satu bentuk sinergi yang diangkat adalah inisiatif pelaku industri untuk membuat kode etik bersama melalui asosiasi, sebagai bentuk self-regulation yang melengkapi pengaturan dari pemerintah.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Cara Kembangkan UMKM dengan Pinjaman Modal dari Fintech
Dari sisi regulasi, DPR tengah mengembangkan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang memperjelas pembagian tugas antara Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan regulator lainnya.
“Pembagian kerja yang jelas akan mengurangi tumpang tindih antar regulator, memungkinkan koordinasi yang lebih erat, dan menciptakan peraturan yang lebih efektif. Masyarakat juga akan mendapat kepastian tentang lembaga mana yang bertanggung jawab atas isu-isu terkait transaksi di platform keuangan digital,” papar Puteri Komarudin, Anggota Komisi XI DPR yang juga sebagai Ketua Delegasi Indonesia untuk Y20 Italia 2021.
Selain itu, peningkatan pengawasan akan memberi rasa aman bagi investor maupun pengguna jasa keuangan tersebut. Tirta Kama Senjaya, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti, Kementerian Perdagangan Indonesia, memaparkan sinergi Bappebti bersama dengan Satgas Waspada Investasi berupaya membangun ekosistem investasi digital yang melindungi masyarakat secara hukum dan pelaku usaha secara kepastian berusaha. Bappebti melibatkan asosiasi industri dan pihak lainnya yang relevan dalam dalam meningkatkan pengawasan industri, salah satunya dalam merespon naiknya popularitas aset kripto sebagai instrumen investasi yang per Juli 2022 telah mencapai 15,6 juta investor.
Direktur Literasi dan Edukasi Keuangan OJK Horas V.M. Tarihoran turut membagikan upaya OJK memberikan edukasi keuangan melalui sarana digital dan tradisional guna menjangkau banyak lapisan masyarakat, agar Indonesia dapat mengejar tingkat literasi keuangan negara-negara lain yang telah mencapai 60-70 persen. Di tengah banyaknya tantangan seperti kesenjangan pendidikan dan perekonomian hingga akses internet yang belum merata, terdapat juga peluang dari tingginya pengguna internet di Indonesia dan penggunaan layanan keuangan digital yang meningkat di kalangan generasi muda. Per tahun 2020, pemerintah Indonesia menetapkan target untuk mencapai Indeks Inklusi Keuangan di angka 90%.
Untuk itu, OJK berharap kualitas inklusi keuangan ini tidak hanya dilihat dari seberapa banyak pengguna layanan keuangan digital, tapi bagaimana upaya seluruh pihak mewujudkan inklusi keuangan yang sehat dan berkelanjutan, termasuk di dalamnya literasi keuangan yang memadai.
Senior Strategic Researcher Mandiri Institute Andjarsari Paramaditha juga menyorot meluasnya penggunaan pembayaran digital untuk kebutuhan bisnis maupun pribadi. Fenomena ini tidak lepas dari digitalisasi sektor perbankan yang memunculkan berbagai bentuk bank digital, metode pembayaran seperti QR code dan uang elektronik, dan mendorong integrasi dengan jasa-jasa seperti e-commerce, investasi, pinjaman, hingga akomodasi dan transportasi. Minat masyarakat yang tinggi untuk mengadopsi perbankan digital perlu diiringi dengan literasi yang memadai agar dapat memanfaatkan layanan yang ada dengan efektif.
Sebanyak 73% pengguna fintech dalam negeri berada dalam rentang usia generasi milenial (25-35 tahun). Besarnya proporsi demografi generasi muda dalam layanan fintech mendorong peningkatan literasi keuangan. Youth 20 (Y20) juga menempatkan isu kesadaran keuangan digital sebagai bagian dari agenda prioritas dalam komunike hasil rekomendasi kebijakan KTT Y20 Indonesia 2022.
“Y20 memastikan bahwa keberadaan internet dapat membuka kesempatan sebanyak-banyaknya bagi anak muda. Kami mendorong berjalannya transisi ke masyarakat dan perekonomian digital secara inklusif, termasuk melalui peningkatan kesadaran akan keuangan digital dan perlindungan konsumen di sektor fintech,” ungkap Sara (Rahayu Saraswati), Co-Chair Y20 Indonesia 2022.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: 4 Alasan Milenial Wajib Investasi di Fintech P2P Lending
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com