duniafintech.com – Banyak pihak menanti Undang-Undang Fintech (Financial Technology) di tengah maraknya fintech-fintech illegal serta penagihan pinjaman bermasalah. Praktik fintech ilegal yang menjerat masyarakat dengan bunga tinggi dan denda yang di luar ketentuan membuat nasabah kesulitan mengembalikan pinjaman tersebut apabila melewati jatuh tempo. Kehadiran regulasi saat ini dirasa belum mampu menindak fintech ilegal, khususnya pemilik perusahaan.
Tidak hanya konsumen yang menanti Undang-Undang fintech ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Polri hingga Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mendukung adanya pembuatan UU Fintech. Nantinya aturan ini akan memperjelas landasan hukum dari sisi pengaturan, pengawasan, pihak yang dilibatkan hingga sanksi yang dikenakan.
Sebenarnya, ketentuan mengenai bunga dan denda bagi peminjam sudah diatur dalam peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 serta kode perilaku atauย code of conductย Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Dalam aturan tersebut, bunga tidak boleh mebihi 0,08% per hari dengan penagihan maksimal 90 hari. Sehingga pengembalian tidak melebihi 100% dari total pinjaman. Namun, permasalahan yang terjadi pada fintech ilegal, nasabah bisa terkena kewajiban pengembalian utang melebihi batas aturan tersebut.
Baca Juga:ย
- Pendaftaran Penyedia Pinjaman Online Baru di Stop OJK
- OJK Imbau Perusahaan Fintech Hati-Hati Pilih Lokasi Kantor
- Awal Tahun Satgas Kembali Temukan 120 Fintech Ilegal
Selain persoalan bunga, denda dan penagihan, permasalahan lain bagi konsumen yang menanti Undang-Undang fintech pun perlu diperhatikan. Seperti halnya Fintech ilegal tidak segan mencuri data pribadi nasabah yang terlambat mengembalikan pinjaman tersebut.
Pelaku mencuri data pribadi seperti nomor kontak, foto serta video yang terdapat dalam telepon genggam nasabah. Melalui data pribadi tersebut, pelaku menyebar data pribadi kepada rekan nasabah. Selain itu, pelaku juga meneror atau mengancam nasabah agar mengembalikan pinjaman tersebut.
Hingga saat ini, kepolisian kesulitan untuk menindak fintech ilegal karena mereka tidak terdata, baik dari identitas pemberi pinjaman (lender), peminjam (borrower), pemilik perusahaan dan sumber dana. Akibatnya, sulit menjatuhkan sanksi berat bagi perusahaan fintech yang beroperasi tanpa izin karena ketiadaan UU.
Padahal, kepolian telah menerima lebih dari 100 pengaduan terkait fintech, di mana mayoritas masalah penagihan. Pengaduan tersebut sekarang baru bisa diproses melalui hukum pidana umum, hukum tindak pidana khusus dan tindak pidanaย cyber crime.
Sejak 2018 sampai Oktober 2019, Satgas Waspada Investasi (SWI) telah memblokir situs maupun aplikasi dari 1.477 fintech ilegal. Naasnya, fintech tersebut beroperasi kembali dengan nama berbeda sehingga sulit diberantas.
(DuniaFintech/VidiaHapsari)