DuniaFintech.com – Jagat maya sempat dihebohkan dengan keluhan beberapa klien sebuah jasa perencana keuangan yang menceritakan bagaimana mereka kehilangan puluhan juta karena menggunakan layanan perencana keuangan tersebut untuk berinvestasi.
Lifepal pun menyoroti hal tersebut dengan memberikan analisa mendalam atas kasus masyarakat yang menggunakan layanan perencana keuangan. Untuk analisa lengkap, Lifepal menggunakan kasus yang dialami oleh Yakobus Alvin yang menggunakan layanan perencana keuangan dan keputusan untuk berinvestasi di saham PT Sentral Mitra Informatika Tbk (LUCK).
Penasihat keuangan tidak diperkenankan mengelola dana klienÂ
Sebagai perencana keuangan, cakupan layanan yang diberikan adalah mengembangkan rencana keuangan dan mempresentasikannya kepada klien sebagai rekomendasi. Rekomendasi yang diberikan dapat berupa laporan keuangan, simulasi tujuan keuangan, saran untuk menabung, saran membeli asuransi, saran berinvestasi, dan lainnya.Â
Perencana keuangan sebaiknya tidak mengelola dana klien dan memiliki akses langsung untuk jual beli saham di rekening dana nasabah. Sementara itu pihak yang bisa mengelola dana nasabah harus mengantongi izin sebagai manajer investasi (MI). Tujuan dan kondisi keuangan dapat berubah sewaktu-waktu, oleh karena itu penting untuk memiliki kontrol atas keputusan finansial kita. Sebagai klien perencana keuangan, seharusnya menggunakan kesempatan ini untuk belajar dengan panduan dari perencana keuangan, namun tetap melakukan segala keputusan finansial secara mandiri tanpa paksaan atau kendali dari pihak manapun.
Dalam berinvestasi seharusnya investor melakukan diversifikasiÂ
Terlepas dari pengelolaan transaksi saham, perencana keuangan seharusnya mengerti dengan baik konsep diversifikasi portofolio investasi. Artinya, kita harus menyebarkan investasi pada beberapa instrumen investasi atau saham agar mengurangi resiko kerugian dikarenakan saham atau perusahaan tertentu. Oleh karena itu, investor biasanya menyebar investasi mereka ke 5 hingga 15 perusahaan.
Kita tidak pernah tahu bagaimana berbagai faktor eksternal maupun internal dapat mempengaruhi performa dan harga saham sebuah perusahaan. Sebab, perubahan kebijakan pemerintah, bencana alam, wabah, pandemi, keputusan manajemen, dan berbagai faktor lainnya dapat meningkatkan atau menurunkan nilai saham secara drastis.
Melihat dari kasus Yakobus Alvin, diketahui bahwa sebesar 73.3% dari total portofolio diinvestasikan pada satu perusahaan saja. Hal ini tentunya bukan hal yang tepat untuk dilakukan, karena memiliki risiko yang sangat besar.
Jangan membeli saham di harga yang terlalu mahal
Perencana keuangan seharusnya mampu memberikan saran untuk membeli saham dengan harga yang tepat. Ada berbagai cara untuk menentukan harga saham yang layak, namun untuk mempermudah penjelasan pada artikel ini penulis hanya akan menunjukkan bahwa rekomendasi untuk membeli saham LUCK pada harga Rp1.457,84 per-lembar saham dapat dikategorikan sebagai overpriced alias kemahalan.
Untuk memperkuat analisis tersebut, penulis membandingkan sejumlah rasio yang bisa dijadikan patokan bagi investor sebelum memutuskan membeli saham tertentu. Penulis membandingkan price earning ratio dan price book value ratio dari PT Sentral Mitra Informatika Tbk (LUCK) dengan 3 emiten lain yaitu: PT Astra Graphia Tbk (ASGR), PT Metrodata Electronics Tbk (MTDL), dan PT Multipolar Technology Tbk (MLPT) pada tanggal yang sama.
Dalam kasus ini, tidak disebutkan tanggal pasti dilakukannya pembelian saham LUCK oleh Alvin atau pihak yang bertindak untuk Alvin. Namun, berdasarkan harga yang disebutkan, patut diduga pembelian dilakukan pada tanggal 14 Juni 2019.
Rasio pertama yang biasanya digunakan adalah Price Earning Ratio (PER). Investor dapat melihat pendapatan bersih perusahaan jika dibandingkan dengan harga saham dan jumlah saham yang beredar.
Dengan pendapatan bersih sebesar 5.3 miliar, LUCK di harga Rp1.458 memiliki PER sebesar 137.5 kali dari pendapatan per-lembar sahamnya. Sementara itu, tiga emiten pada industri yang sejenis hanya memiliki PER belasan saja, walaupun telah memiliki pangsa pasar yang lebih besar.
Rasio kedua yang digunakan adalah Price Book Value Ratio (PBV). Rasio ini didapat dengan membagi harga per-lembar saham dengan nilai buku atau ekuitas dari emiten per-lembar saham. Ekuitas adalah total aset perusahaan, dikurangi dengan semua hutang perusahaan. Artinya jika dalam kasus terburuk perusahaan bangkrut dan dilikuidasi, maka pemegang saham akan dibagikan nilai buku dari perusahaan.
Semakin rendah PBV suatu perusahaan maka saham tersebut dikategorikan murah atau undervalued. Biasanya, PBV > 2 sudah termasuk sangat overpriced. Dalam kasus ini, LUCK di harga Rp1.458 memiliki PBV sebesar 8 kali dari nilai buku dari perusahaan, sedangkan emiten sejenis lainnya memiliki PBV hanya 1,1 kali hingga 1,6 kali dari nilai buku perusahaan.
Baca juga :
- Situs Penghasil Bitcoin Gratis 2020 Terbukti Tanpa PHP
- Pinjam Uang Cuma dengan KTP Tanpa Slip Gaji, Disini Tempatnya!
- Mau Dapat Passive Income? Lakukan Beberapa Cara Ini!
- Tips Belajar Saham Untuk Pemula Ini Bisa Bikin Untung!
Kapasitas dan toleransi risiko investor seharusnya dijadikan pertimbangan
Setiap orang memiliki tingkat kapasitas risiko yang berbeda, karena bisa saja dana investasi itu bisa saja dibutuhkan untuk tujuan finansial tertentu.
Tujuan finansial dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan jangka waktu. Untuk tujuan keuangan jangka pendek biasanya akan dicapai dalam 1-2 tahun. Untuk jangka menengah biasanya untuk jangka waktu 2-5 tahun, dan untuk tujuan jangka panjang biasanya akan dicapai dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun.
Penempatan investasinya tentu akan disesuaikan dengan jangka waktunya. Untuk tujuan keuangan jangka pendek biasanya ditempatkan di instrumen berisiko rendah seperti deposito atau obligasi negara, sedangkan untuk tujuan jangka panjang dapat ditempatkan pada instrumen dengan keuntungan besar dan risiko besar seperti saham.
Dalam berinvestasi, investor juga tentunya memiliki batas toleransi tentu dalam menghadapi kerugian. Investor seharusnya memiliki pilihan untuk cut-loss, artinya menghentikan kerugian pada batasan tertentu. Jika dianggap batas toleransi / kapasitas adalah 20%, maka investor memiliki pilihan untuk melepas investasi saham di situasi merugi. Hal ini tentunya dengan merujuk pada pertimbangan matang lainnya.
Hal ini sayangnya tidak tercermin dengan baik dalam kasus ini, karena kerugian dibiarkan berlanjut hingga -72%, bahkan mungkin lebih jika dibandingkan dengan saldo awal investasi.
Waspada ketika berinvestasi di saham dengan volume kecilÂ
Hal lain yang menjadi pertimbangan berikutnya adalah likuiditas, atau volume transaksi. Ketika berinvestasi, salah satu aspek yang diperhatikan adalah seberapa besar volume transaksi jual-beli lembar saham yang bisa ditransaksikan di dalam kurun waktu tertentu.Â
Volume transaksi yang kecil dapat mengakibatkan fluktuasi nilai yang sangat besar. Nilai saham dapat meningkat atau menurun sangat drastis dengan angka transaksi yang kecil. Dalam kasus saham LUCK, sayangnya menurun dengan sangat drastis.
Pada tanggal 9 Agustus 2019, hanya dengan volume transaksi sebesar Rp21.817.600, harga saham LUCK menurun sebesar -21.9% dari Rp1.895 per-lembar saham menjadi Rp1.480 per-lembar saham.
Jika investor lain memutuskan untuk menjual, namun tidak banyak yang ingin membeli, harga akan terus turun sebagaimana hukum ekonomi.
Hal inilah yang terjadi pada tanggal 30 Oktober 2019 hingga 15 November 2019 di mana harga saham LUCK turun -65.47% dari harga Rp1.425 per-lembar hingga Rp492 per-lembar saham. Padahal, dalam kurun waktu tersebut, total volume transaksi yang terjadi hanya sebesar Rp45,551,300 saja.
Dalam kasus Alvin, untuk melepas semua kepemilikan saham LUCK dapat berisiko menurunkan nilai saham per-lembar yang sangat signifikan.Â
Keputusan investasi yang salah sejak awal dapat menciptakan kondisi terpojok untuk investor. Oleh karena itu, kita harus mengenali dengan baik model bisnis, prospek pertumbuhan, kesehatan keuangan, dan harga yang tepat dari saham yang ingin kita beli.
Catatan Penulis
Dalam penulisan artikel ini, analisis yang dikemukakan Lifepal.co.id tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak manapun. Penyebutan nama emiten bukan saran atau rekomendasi untuk menjual atau membeli saham tertentu.
(DuniaFintech/ Dinda Luvita)