Pemerintah menargetkan pada 2024 inklusi keuangan di Indonesia dapat mencapai angka 90%. Untuk mewujudkan hal tersebut, seluruh anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus sudah memiliki tabungan digital.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso. Dia menjelaskan, inklusi keuangan di Indonesia telah meningkat jauh sejak 2016, didorong oleh pertumbuhan ekosistem digital di dalam negeri.
Di mana pada 2016 indeks inklusi keuangan tercatat hanya sebesar 67,8%, dan telah meningkat menjadi 76,19% di 2019. Namun, pertumbuhan tersebut belum cukup membanggakan, karena itu pemerintah menargetkan indeks inklusi keuangan mencapai 90% di 2024.
“Kami yakin di 2024 kita dapat mencapai target 90% sebagaimana arahan presiden. Dengan hadirnya digitalisasi kita ingin menyampaikan seluruh anak SMP harus sudah masuk dalam ekosistem tabungan yang berbasis digital,” katanya dalam acara OJK Virtual Innovation Day 2021, Senin (11/10).
Mendorong Sektor Jasa Keuangan Menjangkau Masyarakat Unbankable
Wimboh pun menjelaskan, untuk mendorong inklusi keuangan hingga tembus 90% di 2024, OJK terus melakukan berbagai penyesuaian kebijakan agar ekosistem digital dapat terbangun dengan baik.
Pihaknya pun mendorong agar sejumlah penyelenggara jasa keuangan untuk dapat menjangkau masyarakat yang selama ini tidak terlayani oleh sistem perbankan konvensional, atau unbankable. Dengan begitu, inklusi keuangan akan meningkat.
“Memberikan kemudahan dan memperluas akses masyarakat yang unbankable dan para pelaku UMKM untuk dapat masuk dalam ekosistem digital,” ujarnya.
Mendorong Bank Masuk Ke Ekosistem Digital
Dalam hal mewujudkan sektor jasa keuangan yang inklusif tersebut, OJK telah menyusun cetak biru atau blueprint transformasi digital perbankan. Kebijakan ini akan memberikan ruang bagi perbankan untuk dapat masuk ke ekosistem digital.
Selain itu, dengan kebijakan ini perbankan ke depannya juga dapat mengembang produk dan layanan digital kepada masyarakat. Tidak hanya berlaku untuk bank berskala besar, namun juga bank berskala sedang dan kecil.
“Kebijakan ini memberikan ruang bank untuk masuk dalam ekosistem digital serta mengembangkan produk dan layanan bank berbasis digital. Baik berskala besar, menengah, dan kecil,” ucapnya.
Aturan ini, sambungnya, juga dapat diterapkan oleh pelaku usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR) agar memiliki pasar dan level yang sama luasnya dengan bank umumย konvensional.
“BPR ini akan punya ruang yang luas dan memiliki level playing field dangan bank-bank lain yang tidak masuk kategori BPR,” tambahya.
Tak cukup di situ, pihaknya juga ingin lembaga keuangan non bank termasuk lembaga keuangan mikro seperti wakaf mikro untuk dapat beralih ke digital.
“Kita harap kebijakan ini juga dapat dinikmati bukan saja oleh sektor keuangan, tapi juga pemerintah,” tuturnya.
Inklusi Keuangan Harus Diikuti Keamanan Data Pribadi
Namun demikian, Wimboh mengungkapkan, peningkatan inklusi keuangan ini juga harus diikuti dengan peningkatan keamanan digital atau cyber security, sehingga dapat memitigasi risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Menurutnya, muara dari langkah antisipatif ini adalah pada perlindungan data pribadi. Pihaknya pun telah bekerja sama dengan sejumlah instansi terkait perihal memitigasi risiko siber tersebut.
“OJK akan selalu proaktif juga memitigasi risiko yang mungkin muncul. Pada saat ini yang menjadi fokus adalah bagaimana cyber security harus ditingkatkan dan bagaimana perlindungan data pribadi juga jadi perhatian kami,” ujarnya.
Di samping itu, pihaknya juga mengajak sejumlah pelaku sektor jasa keuangan dan instansi pemerintah lainnya untuk turut aktif terlibat di dalam meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
Hal ini, juga sebagai langkah untuk menghindari masyarakat terjebak pada sejumlah pinjaman online (pinjol) dengan bunga selangit. Harapannya, jika literasi keuangan meningkat, masyarakat dapat memilih investasi atau produk pinjaman yang lebih aman.
“Dukungan tidak sampai pada industri jasa keuangan tapi juga bagaimana mengedukasi masyarakat terhadap produk tadi, sehingga masyarakat bisa memahami tentang risiko produk tersebut,” tukasnya.
Adapun, tingkat literasi keuangan berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) ketiga yang dilakukan OJK pada 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan baru sebatas 38,03%.
Meskipun angka tersebut meningkat dibandingkan dengan hasil survei OJK pada 2016 yang sebesar 29,7%. Namun, indeks literasi keuangan ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat inklusi keuangan yang sebesar 76,19%.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra