duniafintech.com – Tren positif penyelenggara jasa keuangan berbasis teknologi (fintech) terus berlanjut. Banyaknya startup fintech di Indonesia membuat inklusi keuangan tembus hingga 70%.
Di sisi lain, industri fintech saat ini masih didominasi oleh klaster (game) tertentu, seperti pinjaman personal (P2P Lending), pinjaman bisnis (B2B) hingga Payment Gateway. Menanggapi hal ini, redaksi DuniaFintech berhasil menemui salah satu institusi di bidang pengembangan ekonomi dan keuangan, INDEF.
Nailul Huda sebagai divisi INDEF untuk urusan inovasi ekonomi digital menyebut dominasi fintech pinjaman memang tidak dapat dipungkiri, lantaran kondisi Indonesia yang kebanyakan merupakan underbank atau tidak memiliki akses terhadap layanan keuangan.
Namun Huda beranggapan bahwa fintech klaster Equity Crowdfunding akan menjadi nama yang hadir sebagai ‘jagoan baru’ di tahun 2020.
“Saat ini fintech P2P masih berpotensi menggerakkan sektor keuangan Indonesia,”
“Namun Saya lihat, geliat fintech Equity Crowdfunding akan menjadi pemain besar di kemudian hari,”
Baca juga:
- Perlawanan Wabah COVID-19 Butuh Upaya Kolaboratif dari Semua Kalangan
- Transfez, Hemat Biaya Remitansi Tanpa Hidden Fee
- Pemanfaatan Fintech untuk UMKM Sudah Sejauh Apa? Simak Disini!
‘Geliat’ Fintech Equity Crowdfunding
Pernyataan Huda tentunya didasari beberapa hal, seperti kondisi industri dan pasar Indonesia yang didominasi oleh pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Ia menambahkan, fintech Equity Crowdfunding juga menjadi penyelenggara yang mampu berkontribusi untuk UMKM.
“Equity Crowdfunding juga fokus melayani UMKM. Keuntungan yang ditawarkan kepada pendana juga cukup menarik. Dua hal ini lah yang membuat klaster fintech Equity Crowdfunding potensial dalam beberapa tahun mendatang,”
Perlu diketahui, Equity Crowdfunding layanan keuangan berbasis teknologi yang fokus melayani perusahaan berskala mikro hingga menengah untuk mendapatkan pendanaan publik. Dalam layanannya, terdapat 3 pihak yang dilibatkan, yakni penerbit (pelaku usaha), penyelenggara, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta pendana atau pemodal.
Layanan ini berbeda dengan skema penawaran umum dalam Undang-undang tentang Pasar Modal. Perbedaan terletak pada nilai saham yang berada dibawah Rp 10 miliar dengan jangka waktu kurang dari satu tahun.
Selain itu, fintech Equity Crowdfunding hanya melayani badan usaha dengan valuasi aset kecil serta memiliki status perusahaan non-publik (pemegang saham tidak lebih dari 300 kepala).
Peraturan tersebut menjadi alasan mengapa klaster fintech ini cocok untuk mendukung industri UMKM yang ingin berkembang di skala besar. Sebagaimana diketahui, sektor usaha mikro di penghujung kuartal pertama 2019, berkontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) lebih dari 60 persen. Hal ini tentunya menjadi tantangan yang harus dimanfaatkan oleh pelaku yang terlibat di lingkup terkait.
DuniaFintech/FauzanPerdana