JAKARTA, duniafintech.com – Pemerintah melakukan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% yang berlaku sejak 1 April 2022. Hal ini jelas membuat berbagai transaksi barang dan jasa naik, serta daya beli masyarakat terganggu.
Berbagai komoditas barang dan jasa seperti pengisian atau top up e-money, pengisian pulsa, pembelian perjalanan wisata, hingga transaksi kripto akan dikenakan PPN 11%. Ketentuan ini tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).ย
Menanggapi hal itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN sebesar 1% dari sebelumnya 10% menjadi 11% ini jelas akan menekan daya beli.
“Apakah menekan daya beli? Sudah pasti, namun pertanyaan sebenarnya adalah seberapa besar?,” katanya ketika dihubungi Duniafintech.com, Selasa (12/4).
Dia mengatakan, kenaikan PPN ini jelas akan menekan daya beli masyarakat, apalagi kenaikan pungutan pajak ini dilakukan di tengah kondisi perekonomian yang belum pulih akibat pandemi Covid-19.
Kondisi ini pun diperparah dengan situasi geopolitik global yang dipicu oleh konflik Rusia-Ukraina yang membuat sejumlah harga komoditas dunia melambung, seperti minyak dan gas, serta CPO.
Namun, menurutnya kenaikan PPN ini dampaknya bagi dunia usaha dan masyarakat akan terbatas atau tidak terlalu signifikan. Pasalnya, berdasarkan studi kasus yang terjadi di Uni Eropa, setiap kenaikan PPN sebesar 1% hanya memicu peningkatan harga sebesar 0,036% hingga 0,7%.
Sehingga, menurutnya kenaikan PPN yang baru saja diberlakukan ini tidak serta merta akan memicu lonjakan harga sehingga semakin menekan daya beli masyarakat yang juga sudah tertekan akibat pandemi Covid-19 dan situasi geopolitik global.
“Studi kasus di beberapa negara Uni Eropa, kenaikan tarif hanya menaikan harga dalam kisaran 0,036% sampai 0,7% dari kenaikan tarif PPN sebesar 1%. Artinya, dampaknya bagi ekonomi maupun dunia usaha akan sangat terbatas,” ucapnya.
Sementara itu, sambungnya, untuk kasus Indonesia masih banyak barang dan jasa yang tidak kena pungutan PPN, seperti beras dan juga perjalanan haji dan umrah yang bebas PPN.
“Adapun, kalau kini harga-harga beberapa barang naik, seperti minyak goreng, cabai, ataupun gula. Lebih dikarenakan faktor musiman (bulan ramadhan) dan kenaikan harga minyak dunia,” ujarnya.
Lebih jauh dia mengatakan bahwa, tarif PPN sudah semestinya naik untuk menjaga konsolidasi fiskal yang sejauh ini memiliki beban yang berat dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.
“Kenaikan tarif PPN sebesar 1% sudah menjadi keharusan, mengingat kita harus menjaga konsolidasi fiskal. Di Singapura, tarif GST (PPN) pun naik 2%,” tambahnya.
Penulis: Nanda Aria
Admin: Panji A Syuhada