25.8 C
Jakarta
Kamis, 28 Maret, 2024

Perbedaan Wadiah dan Mudharabah serta Jenisnya

Akad wadiah dan mudharabah adalah pertanyaan yang sering diajukan oleh customer service ketika calon nasabah membuka rekening di bank syariah. Keduanya diketahui memang mempunyai perbedaan dan bagi mereka yang biasa menyimpan uang di bank konvensional, kedua istilah ini tentu saja akan cukup membingungkan.

Sebagaimana diketahui, perbankan syariah memang memiliki karakteristik dan istilah-istilahnya tersendiri, di antaranya adalah wadiah atau al-wadi’ah. Sebelum mengetahui apa perbedaan al-wadi’ah ini dan mudharabah serta jenisnya, ada baiknya menyimak terlebih dahulu pengertian wadiah serta jenis-jenisnya.

Wadiah dan Mudharabah 

Wadiah adalah titipan dari nasabah yang harus dijaga oleh pihak yang dititipkan (dalam hal ini bank) dan wajib dikembalikan kapanpun pemiliknya ingin mengambil. Adapun al-wadi’ah ini diambil dari prinsip Fiqih dalam Islam, yakni Al-wadi’ah yang berarti titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. 

Ulama fiqih menyatakan, al-wadi’ah bersifat amanah, bukan daman (menjamin/menanggung) sehingga bila terjadi kerusakan maka bukan merupakan tanggung jawab pihak yang dititip, kecuali apabila kerusakan disebabkan oleh pihak yang dititipi. 

Untuk diketahui, al-wadi’ah termasuk dalam akad tabarru’at, yakni akad yang bertujuan untuk saling tolong-menolong. Al-wadi’ah dalam hal ini bersifat non for profit transaction, kecuali apabila kemudian disepakati adanya skema bisnis sehingga menjadi mu’awadhah (transaksi pertukaran) atau tijarah (profit motive transaction). 

Menurut Imam Hanafi, arti al-wadi’ah adalah mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat. Sementara itu, definisi al-wadi’ah menurut Imam Hambali adalah mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.

Pengertian wadiah menurut Bank Indonesia (2008) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.

Rukun Al-Wadi’ah

Rukun al-wadi’ah terdiri dari empat, yakni sebagai berikut. 

  • Adanya pihak yang menitipkan barang/uang (Muwaddi’).
  • Adanya pihak yang dititipkan barang/uang (Wadii’).
  • Adanya barang yang memiliki wujud fisik atau memiliki nilai (Wadi’ah).
  • Adanya ijab qabul yang sah, baik melalui ucapan maupun perbuatan (Shighat).

Syarat Al-wadi’ah

Syarat al-wadi’ah, yakni syarat yang wajib dipenuhi atau mengikat kepada tiga rukun al-wadi’ah di atas, yaitu Muwaddi’, Wadii’, dan Wadi’ah itu sendiri. 

Syarat-syarat sahnya al-wadi’ah, yaitu:

  • Baik Muwaddi’ dan Wadii’ harus berakal sehat. 
  • Keduanya juga harus sudah aqil baligh dan memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad berkaitan dengan harta. 
  • Jika Muwaddi’ menerima titipan dari anak kecil, maka ia harus menjamin titipan tersebut meskipun bukan merupakan kesalahannya. 
  • Titipan dari anak kecil juga hanya berlaku jika tidak ada ketentuan jual beli yang tidak dipahami oleh anak kecil. 

Landasan Hukum Al-Wadi’ah

Al-wadi’ah memiliki beberapa  landasan hukum, antara lain: 

  • QS An Nissa’ ayat 58 yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
  • Q.S. al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi: “ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
  • Fatwa Majelis Ulama Indonesia berdasarkan fatwa DSN 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan. Menurut MUI, tabungan yang dibenarkan syariah ada dua, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’a.

Faktor-faktor yang Membatalkan Wadiah

Faktor-faktor yang membatalkan al-wadi’ah, antara lain:

  • Adanya pengembalian barang/uang dari pihak yang dititipkan. 
  • Salah satu pihak, baik Muwaddi’ dan Wadii’ meninggal dunia, koma berkepanjangan atau hilang akal. 
  • Pihak yang dititipkan tidak lagi memiliki kompetensi yang sesuai dengan syarat wadii’. Dalam konteks perbankan, bank yang bersangkutan bangkrut atau pailit. 
  • Pihak yang dititipi memindahkan hak kepemilikan barang kepada pihak lain.

Perbedaan Wadiah dan Mudharabah

Akad mudharabah adalah jenis akad kerja sama antara pemilik modal (shahibul mal) atau nasabah dan pengelola modal (mudharib) yakni bank, dengan pembagian hasil yang disepakati. 

Berdasarkan pengertian itu, dapat dipahami bahwa Mudharabah merupakan bentuk kerja sama dengan pembagian hasil, sedangkan al-wadi’ah adalah murni titipan. 

Agar lebih jelas memahami keduanya, di bawah ini disajikan tiga poin utama perbedaan wadiah dan mudharabah 

  1. Wadiah
  • Bagi Hasil: Tidak ada. Jika ada, hanya berupa bonus sukarela dari bank.
  •  Peran nasabah: Penitip uang (muwadi).
  • Status uang/barang: Simpanan atau tabungan.
  1. Mudharabah
  • Bagi Hasil: Ada bagi hasil yang telah disepakati.
  • Peran nasabah: Pemilik modal (sohibul mal).
  • Status uang/barang: Investasi.

Jenis-jenis Wadiah

Adapun Al-wadi’ah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni: 

  1. Wadiah Yad Al-Amanah

Merupakan jenis akad al-wadi’ah yang murni. Dalam hal ini, pihak yang dititipkan bertanggung jawab menjaga barang/uang titipan. Pihak yang dititipkan juga tidak diperkenankan untuk memanfaatkan barang/uang yang dititipkan tersebut untuk keperluannya sendiri. 

Meski demikian, pihak yang dititipkan berhak untuk memperoleh fee atas jasanya menjaga barang ini sehingga disepakati jual beli manfaat barang/jasa.

Contoh penerapan akad Wadiah Yad Al-Amanah, yakni layanan save deposit box yang dimiliki perbankan. 

  1. Wadiah Yad Adh-Dhamanah

Ini adalah akad yang banyak digunakan dalam industri perbankan syariah. Melalui akad ini, pihak yang dititipkan barang/uang diberikan hak untuk memanfaatkan atau mengelolanya.  Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan dana nasabah sepenuhnya menjadi hak dari pihak yang dititipkan atau dalam hal ini adalah bank.

Dalam hal ini, nasabah tidak berhak mendapatkan keuntungan atas pengelolaan dana tersebut. Meski begitu, pihak bank syariah biasanya tetap memberikan keuntungan pada nasabah dalam bentuk bonus. Untuk dipahami, pemberian bonus oleh bank syariah merupakan pemberian sukarela dan tidak boleh disebutkan nominal atau persentasenya dalam akad, dengan tujuan untuk menghindari riba. 

Prinsip utama dari al-wadi’ah adalah tetap, yakni kapan saja nasabah mengambil barang/uang yang dititipkan, pihak bank wajib memberikannya. Contoh dari penerapan akad Wadiah Yad Adh-Dhamanah, yaitu pada produk tabungan dan giro bank syariah.

 

Penulis: Kontributor

Editor: Anju Mahendra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Iklan

ARTIKEL TERBARU

LANGUAGE