29.2 C
Jakarta
Minggu, 22 Desember, 2024

Upaya Merger Alot, Grab Dinilai Lebih Butuh Gojek Untuk Bertahan

DuniaFintech.com – Beberapa waktu lalu muncul kembali isu merger antara dua perusahaan raksasa ride hailing, Gojek dan Grab. Kabar itu santer setelah Softbank yang merupakan pemegang saham utama Grab mengalami tekanan di tengah pandemi COVID-19. Namun upaya merger kedua perusahaan ini nampaknya alot karena Grab dinilai lebih butuh gojek untuk bertahan.

Alasan Grab dinilai lebih butuh Gojek karena investasi SoftBank di sejumlah perusahaan startup mengalami rugi besar. Pada tahun fiskal 2019 kerugian SoftBank mencapai US$17,7 miliar. Kerugian itu diderita oleh Vision Fund, perusahaan modal ventura milik SoftBank. Hal itu terjadi setelah anak perusahaan Softbank itu melakukan hapus buku nilai investasi di WeWork dan termasuk Uber Technologies Inc.

Business Development Advisor Bursa Efek Indonesia (BEI), Poltak Hotradero mengatakan, di masa pandemi COVID-19 ini laju bisnis perusahaan investasi milik Softbank mengalami banyak tekanan. Apalagi hampir sebagian besar investasi SoftBank berada di sektor jasa transportasi dan logistik yang terkena imbas langsung COVID-19. Oleh karena itu, Grab dinilai lebih butuh Gojek.

Ia menambahkan, situasi semakin rumit lantaran adanya komitmen Grab terkait akuisisi saham Uber di Asia beberapa waktu lalu. Sesuai prospektus IPO Uber, perusahaan ride hailing asal negeri Paman Sam itu memiliki hak menukarkan 23,2% kepemilikan sahamnya di Grab dengan uang tunai. Hal tersebut dapat dilakukan jika Grab tidak melangsungkan IPO hingga 25 Maret 2023 mendatang.

“Jika Uber mengeksekusi haknya untuk mencairkan kepemilikan sahamnya, maka Grab harus membayar Uber sebesar US$2,26 miliar atau lebih. Nilai tersebut setara dengan 409 juta saham Grab yang dimiliki Uber dengan harga US$5,54 per saham dengan bunga sebesar 6 persen per tahun,” ujar Poltak.

Baca Juga:

Selama ini portofolio Vision Fund tersebar di banyak perusahaan. Nilainya ditaksir mencapai US$33 miliar hanya di sektor transportasi dan logistik. Beberapa investasi Vision Fund di aset ride-sharing diantaranya adalah investasi US$7,7 miliar di Uber, US$11,8 miliar ke Didi China, US$3 miliar ke Grab Singapura, dan US$250 juta ke dalam Ola India.

Untuk menutupi kerugiannya itu, SoftBank telah melepas kepemilikan sahamnya di ARM, perusahaan chip asal Inggris senilai US$40 miliar. SoftBank juga dikabarkan bakal melepas sahamnya di T-Mobile, perusahaan telekomunikasi asal Jerman, senilai US$21 miliar.

Menurut Poltak, konsolidasi antara Grab dan Gojek akan menemui beberapa kesulitan. Misalnya, filosofi dan kultur antara kedua perusahaan tersebut berbeda. Grab fokus menguasai pasar regional. Makanya, unit bisnis Uber di Asia Tenggara diakuisisi oleh Grab dalam rangka memperluas pasar Grab.

Sementara Gojek sejak awal lebih fokus menggarap pasar Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara. Dengan menguasai pasar Indonesia, Gojek akan lebih leluasa dan mudah menerapkan strateginya untuk menggarap pasar di luar negeri.

Konsep dan strategi antara Grab dan Gojek juga berbeda. Poltak menilai, Grab saat ini masih fokus pada bisnis tranportasi yang melayani pengantaran orang maupun barang. Sementara Gojek sudah jauh berkembang bukan hanya terbatas pada bisnis transportasi. Bisnis Gojek kini juga bergerak dengan cepat ke arah pembayaran non-tunai melalui Go-Pay.

“Go-Ride saat ini lebih sebagai bagian dari ekosistem supaya Go-Pay lebih banyak dipakai. Gopay sendiri statusnya sudah Decacorn,” ungkap Poltak.

Baginya, perusahaan ride-hailing sebenarnya tidak bisa menutup biaya jika hanya mengandalkan lini bisnis transportasi. Terlebih, jika perusahaan terus-menerus menerapkan strategi bakar uang. Jika memang mau merger pihak yang mengakuisisi dan diakuisisi harus jelas. Jika Grab yang mengakuisisi Gojek, valuasi Go-Pay harus dihitung. Sementara bagi Gojek mereka tidak membutuhkan akusisi itu karena semua yang ada di Grab sudah ada di Gojek.

(DuniaFintech/Drean M.Ikhsan)

Iklan

mau tayang di media lain juga

ARTIKEL TERBARU